Wellcome Friend

Blog Khusus buat teman-teman yang kuliah jurusan hukum

About Me

Foto saya
Yahh.. bisa di lihat di facebooklah.. cari aja berdasarkan email di atas..

Wellcome Student

Ilmu pengetahuan tidak mengenal usia

Hobi-ku

Hobi-ku
Hal yang mengasyikkan ketika berdiri di atas ombak

Jumat, 27 Mei 2011

BAHAN KULIAH
SOSIOLOGI HUKUM

Bab I Pengantar
Pendekatan hukum positivistik, normatif, legalislitik, formalistik.
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan morma yang harus dipahami dengan meanganilis teks atau bunyi undang-undang atau peraturan yang tertulis. Dalam rangka mempelajari teks-teks normatif tersebut maka yang menjadi sangat penting untuk menggunakan logika hukum (legal reasoning) yang dibangan atas dasar asas-asas, dogma-dogma, doktrin-doktrin, dan prinsip-prinsip hukum terutama yang berlaku secara universal dalam hukum (modern).
Dalam kenyataannya pendekaan ini memiliki kelemahan atau kekurangan karena tidak dapat menjelaskan kenyataan-kenyataan hukum secara memuaskan, terutama ketika praktek hukum tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum yang tertulis. Seperti ketika prinsip hukum undang-undang menyatakan bahwa hukum tidak boleh berlaku diskriminiatif atau equality before the law, hukum tidak boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah harus dihukum, hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan sebagainya, namun kenyataannya terdapat kesenjangan (gap atau diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi.

Pendekatan Hukum Empiris, Sosiologis, Realisme, Konteks Sosial
Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial (social institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Hukum tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan social yang menafest dalam kehidupan. Hukum tidak dipahami secara tekstual normative tetapi secara konteksual. Sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi juga dengan logika social dalam rangka seaching for the meaning.
Pendekatan ini diharapkan dapat menjelaskan berbagai fenomena hukum yang ada melalui alat bantu logika ilmu-ilmu sosial. Berbagai praktek-praktek hukum yang tidak sesuai dengan aturan normative, disparitas hukum, terjadinya deviant behavior, anomaly hukum, ketidakpatuhan (disobedience), pembangkangan hukum, violent, kriminalisme dan sebagainya akan lebih mudah dijelaskan melalui pendekatan ini.

Perbandingan dua model pendekatan hukum
Aspek Hukum Positivis analitis (Jurisprudential) Model Sosiologis
Fokus Peraturan Struktur Sosial
Proses Logika Perilaku (behavior)
Lingkup Universal Variabel
Perspektif Pelaku (Participant) Pengamat (Observer)
Tujuan Praktis Ilmiah
Sasaran Keputusan (Decission) Penejelasan (Expalanation)
Sumber : Donald Black. Sociological Justice, 1989 : 21.

Menuju pendekatan hukum yang holistik dan visoner.
Sebagai upaya menuju pemahaman hukum secara holistic dan visoner kiranya diperlukanm adanya pergeseran paradigma (paradigm shift) dimana kedua pendekatan tersebut dapat digunakan secara sinergis dan komplementer. Artinya, pendekatan terhadap hukum tidak hanya mengambil salah satu, tetapi harus mengambil keduannya secara utuh sehingga akan dapat dilakukan analisis secara holistic dan komprehensif.
Pendekatan hukum yang positistik saja akan menyebabkan hukum akan teralienasi dari basis sosial dimana dimana hukum itu berada. Pendekatan ini semata mungkin akan dapat memperoleh nilai kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum.
Sebaliknya pendekatan hukum empiris, sosiologis, realisme, atau konteks sosial saja akan menyebabkan seolah-oleh hukum tertulis menjadi tidak diperlukan tetapi hanya melihat realitas hukum yang terjadi. Jika pendekatan ini dipakai sebagai satu-satunya alat dalam memahami hukum maka sangat dapat mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hokum bahkan dikhawatirkan tidak lagi diperlukan lagi adanya hukum atau undang-undang sehingga lebih lanjut dapat terjadi anarkisme hukum.
Positivisme Hukum
• Berkembang pesat pada abd IX sejalan dengan tumbuhnya konsep Negara-negara modern
• Siostem trias politika yang membagi kekuasaan Negara menjadi tiga dan kekuasaan legislative memproduksi hukum sebanyak mungkin
• Gerakan liberalisme yang bertujuan untuk melindungi kepentingan individu melalui hukum tertulis
• Munculnya tokoh pemikir gerarakan positivisme seperti
• H.L.A Hart
1) Undang-undang adalah perintah manusia
2) Todak perlu ada hubungan hukum dengan moral
3) Sistem hukum adalah logis dan terutup
4) Penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan
5) Esensi hukum terletak pada adanya penggunaan paksaan
• Lon Fuller : ada 8 (delapan) prinsip yang harus diperhatikan dalan substansi hukum positip
• John Austin : Hukum adalah perintah kekuasaan politik yang berdaulat.
• Hans Kelsen : Teori Hukum Murni, dan teori Stufenbau.
Paham Positivisme di Indonesia berkembang karena :
1. Pendidikan hukum di Indonesia lebih mengarahkan kepada tujuan untuk menciptakan sarjana Hukum yang profesional (keahlian hukum yang monolitik). S1 mencetak tukang untuk menerapkan  bagaimana menciptakan SH yang handal dalam profesi hukum, seolah-olah hukum di dominasi Undang-undang  normatik, sehingga realitas hukum dianggap realtif tidak penting.









Civil Law : deduktif : dibuat aturan yang umum yang dibuat untuk menyelesaikan kasus. Jadi hukumnya sama meski kebutuhan masyarakat berbeda-beda dan asumsinya UU pasti sudah bagus.

2. Pendidikan di Indonesia mewarisi tradisi continental law yang mengikuti civil law
Hukum adalah sesuatu yang sudah ada dalam UU atau perturan tertulis, sehingga sumber hukum hanyalah undang-undang dan di luar itu tidak ada hukum. Hal tak lepas dari sistem hukum Belanda yang dibawa colonial masuk ke Indonesia dengan psrinisp konkordansi. Asumsinya undang-undang tidak boleh diprotes, UU dianggap sudah baik karena pembentuk hukum sudah merancangh dengan sungguh-sungguh.
- Civil law cenderung empiris / induktifnya tidak digunakan
- Lobus de droit : hakim adalah mulut undang-undang karena hakim dalam menentukan putusan sudah ditentukan oleh undang-undang, sehingga penemuan-penemuan hukum menjadi miskin

3. Pendidikan hukum di Indonesia lebih banyak mengajarkan pada fisiologi hukum tapi kurang mengajarkan pada patologi hukum. Kebanyakan yang diajarkan hanya asas-asas dan norma hukum substantive, tetapi ilmu penyakit hukumnya tidak diajarkan sehingga kita tidak terbiasa menganalisis penyimpangan-penyimpangan dalam bekerjanya hukum, padahal hal itu menjadi penting untuk meberikan terapi bagi penyakit hukum.
Menurut Satjipto Rahardjo
Ada tiga penyebab sarjana hukum Indonesia menganut positifisme :
1. tidak banyak melakukan penelitian hukum di lapangan
2. tidak banyak melakukan kritik-kritik terhadap hukum
3. beranggapan sistem hukum tidak bisa dirubah

Perkembangan Ke Arah Ilmu Hukum Sosiologis
Memasuki Abad XX mulai muncul pemikiran untuk meberikan penjelasan lebih baik terhadap hekakekat hukum dan tempat hukum dalam masyarakat. Ketidakpuasan terhadap positifisme kian berekembang karena paham tersebut acapkali tidak sesuai dengan keadilan dan kebenaran sehingga muncul gerakan-gerakan untuk “melawan” positifisme. Hal itu tampak dari fenomena yang disebut:
1. Donald Black  The age of sociology
2. Morton White  The revolt against formalisme
3. Alan Hunt  The sociological movement in law.
Keadilan kadang sulit terungkap. Jika berhadapan dengan formalisme, dimana hakim dalam suatu kasus kadang sulit untuk membuktikan meskipun yakin kalau si pelaku bersalah.
Menurut Gustav Radbruh : hukum harus mengandung tiga nilai idealitas :
1. Kepastian  yuridis
2. Keadilan  Filosofis
3. Kemanfaatan  Sosiologis
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu :
1. Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum
2. Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum
3. Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum  sebagai tetsachenwissenschaaft yang melihat law as it is in the book tidak selalu sama dengan law as it is in society, namun hal tersebut tidak perlu dihakimi sebagai sesuatu yang benar atau salah.

Pohon Ilmu Hukum







Bab II Bekerjanya Hukum

TEORI BEKERJANYA HUKUM
(Robert B. Seidman, 1972)



Faktor-faktor sosial dan
Personal lainnya


Lembaga
Pembuat
Peraturan
Umpan Balik
Norma
Umpan Balik Norma



Lembaga Aktivitas
Penerap Penerapan
Peraturan




Faktor-faktor Sosial dan Faktor-faktor Sosial dan
Personal Lainnya Personal Lainnya

Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa :
a) Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaiman seorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana seorang itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi-peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.
b) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan.
c) Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.

HUKUM SEBAGAI SUB SISTEM SOSIAL
Menurut teori sibenertika Talcoot Parson suatu sistem social pada hakekatnya merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem social yang saling mengalami ketergantuangan dan keterkaitan sau dengan yang lain.
Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.
Hukum
Sosial politik
Ekonomi budaya

Hukum dan politik saling dominan untuk menjadi yang paling unggul/ dominan/ primer dalam konfigurasinya.
Hukum dalam kehidupan sistem sosial hukum menjadi hal yang berpengaruh.
Slah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supremasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti.



Perbandingan Karakteristik
Karakteristik Hk. Sosiologi Sosiologi Hukum
1. Ilmu Induk 1. Ilmu 1. Sosiologi
2. Sifat kajian 2. Hub. Noramtik/logistik 2. Kusalitas (exprerience)
3. Titik tolak 3. Sollen (ius) 3. Fakta (sein)
4. Teori 4. Ajaran pandangan ttg norma 4. Hub. antar gejala sistem
5. Kedudukan Hk. 5. Sbg titik tolak / orientasi 5. Sbg. Alat uji
6. Obyek kajian 6. Norma 6. Perilaku
7. Metode prosedur 7. Ilmu Hukum 7. Sosiologi
8. Logika 8. Deduktif 8. Induktif

Bab II Obyek Sosiologi Hukum

Obyek Sosiologi Hukum
• Beroperasinya hukum di masyarakat ( ius operatum) atau law in action dan pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat.
• Dari segi statiknya (struktur) : kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok social dan lapisan sosial.
• Dari segi dinamiknya ( proses sosial), interaksi dan perubahan sosial.
Menurut Soetandyo Wignyosoebroto:
1) Mempelajari hukum sebagai alat pengendali sosial ( by government ).
2) Mempelajari hukum sebagai kaidah sosial. Kaidah moral yang dilembagakan oleh pemerintah.
3) Stratifikasi sosial dan hukum.
4) Hubungan perubahan sosial dan perubahan hukum.

Menurut Soerjono Soekanto :
1. Hukum dan struktur sosial masyarakat. Hukum merupakan Social Value masyarakat.
2. Hukum, kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya.
3. Stratifikasi sosial dan hukum.
4. Hukum dan nilai sosial budaya.
5. Hukum dan kekerasan.
6. Kepastian hukum dan keadilan hukum.
7. Hukum sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial.

BAB III MASUKAN PEMIKIRAN SOSIOLOGI HUKUM

Analitical Yurisprudence oleh John Austin :

Melahirkan kodifikasi yang bersifat tertutup.
Dilanjutkan Hans Kelsen dengan Teory Stuffen Baw.
Grundnorm


Hukum adalh bangunan norma-norma yang bersifat hierarkhis, ( lex superior derogat lege inferior),( lex specialis derogat lege generalis)
-melahirkan faham positifisme/ formalisme.
Historical Yurisprudensi: Von Savigny,
-Hukum adalah cermin dari jiwa rakyatnya maka muncul istilah-sulis supreme juristex, dan hukum harus dilihat dari sosial budaya masyarakat.
-Kekuasaan membentuk hukum ada pada rakyat maka hukum itu ditemukan seiring dengan perkembangan masyarakat ( dari hukum sebagai sistem masyarakat sosial masyarakatnya.
-Gerakan melawan formalisme, di Inggris tokohnya adalah Jeremy Bentham dll.
Sosiologische Yurisprudence ( Roscoe Pound)
-Ilmu Hukum yang sosiologis
-Akan terjadi pembangkangan sosial kalau hukum dibuat tidak berdasar pada kehidupan sosial masyarakatnya.
-Pada perkembangannya aliran ini timbullah aliran realisme hukum (di Amerika).
Legal Realisme (Amerika)
Apa yang ada dalam kenyataan,
Tool as Social Engeenering berubah daripembentuk UU ( Legislator) , menjadi hakim.

Critical Legal Study Movement: Gerakan Studi Hukum Kritis.
-Lahir di Harvard, muncul atas ketidaksukaan mereka akan determinannya politik.
Contoh: dalam perang Vietnam.
-Pelopornya Roberto Mangabeira Unger
-Tema : menolak tradisi hukum Liberal yang dominan.
Adanya ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh hukum.
-Elektis ( pendekatan yang tidak konsisten)
Sintesis ( dua pendekatan yang digunakan bersamaan).
-Membuka teori Obyektivitas hukum ( kaya kritik, dikembangkan oleh orang positifisme).
( hukum tidak bisa dipisahkan dari politik).
-Hukum direkonstrusi kembali.
-Hukum itu dapat dinegosiasikan.
-Hukum itu subyektif, tergantung pada politik dan kekuasaan.
-Hukum mengandung Hidden Politikal Interest.
-CLS ,menggugat keabsahan hukum.
-Mendekonstruksi hukum.

TEORI-TEORI SOSIOLOGI :
Teori-teori hukum
Sos Hukum Emile Durkheim
Teori-teori sosiologis
Max Weber
Emile Durkheim oarng Perancis, menjelaskan bahwa hkum harus dilihat dari prespektif solidaritas yang ada di masyarakatnya.
Solidaritas mekanis ( mechanical solidarity)
Masyarakat
Solidaritas organik ( organic soidarity)
Solidaritas mekanis ( seperti mesin otomatis) berbeda dengan solidaritas organis ( ikatan terjadi karena fungsi).
Gemeinschaaft bertype : -konsensus ( Talcott Parson) Ferdinant Tonies ( sederhana) -paguyuban ( joyo diguno)
Gesselschaaf -simple society( kuutza)
Gesselshaaft complex society.
( modern)

-Hukum bersifat restitutif karena pelanggaran terhadap hukum dipersonalisasikan terhadap si korban , srhingga hukum melin-
ngi kepentingan individu, hukum untuk mengganti kerugian in-
dividu ( perdata).
-conflict : disosiasi tinggi
-patembayan
-moshav (Ricard Swartz).
Masyarakat dengan solidaritas mekanis bahwa setiap pelanggaran hukum dianggap sebagai ancaman bagi kelompoknya sehingga harus ditekan, diharapkan tidak terjadi lagi, hukumnya relatif represif pidana, artinay kalau kita hendak melihat hukum-hukum yang ada, maka harus melihat dulu susunan masyarakatnya, akan tetapi bukan berarti di masyarakat gemeinschaaft tidak ada hukum perdata, hanya hukumnya cenderung ke pidana begitu juga sebaliknya.
Jadi teorinya Richard Swartz justru kebalikan dari teorinya Emile Durkheim.

Bab IV STRUKTUR SOSIAL

Struktur Sosial dalam masyarakat terdiri dari :
1. Social Norm.
2. Social institution
3. Social Stratification.
4. Social Group.
Social Control maksudnya supaya semua orang punya perilaku sesuai harapan yang menimbulkan komformitas social yaitu pola perilaku yang sesuai dengan norma sehingga tercapai tujuan diberlakukannya suatu kaidah sosial.
Kenyataannya sering terjadi kondisi-kondisi nonconformity, sehingga kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kekuasaan negara tidak sesuai harapan yang ada.

Kontrol social dapat dilakukan oleh masyarakat (social control by society) maupun oleh Negara (social control by government). Kontro oleh masyarakat melalui kaidah social non formal sementara oleh Negara dilakukan melalui kaidah social bersifat formal.
Dunia kenyataan dunia ideal
Das sein das sollen

Norma
Antara ideal dan nyata

Perilaku yang disebut conform
Kaidah sosial dan Hukum sebagai social Kontrol.
Social Control merupakan aspek normatif dalam kehidupan sosial.
Kontrol bertujuan agar perilaku masyarakat antar apa yang seharusnya ( nilai ideal) yang terumuskan dalam norma.
“Donald Black”
( Social Control is Quantitatif variabel kuatitatif, tidak konstan dan tidak ajeg)
The Quantity of law varios Intime and Place: Kuantity hukum bervariasi sesuai waktu dan tempat.
Contoh : Pasal 534 bahwa memperlihatkan alat kontrasepsi diddepan umum, dipidana.
Terjadi tarik-menarik antara hukum dan kontrol sosial.
-Hukum menguat ketika kontrol sosial lain melemah.
-Hukum melemah ketika kontrol sosial menguat.
Apakah dimungkinkan sama ?
-Dapat dimungkinkan karena akan memperkuat, namun ini dapat dikatakan mustahil, karena hukum merupakan Ultimum Remidium, hukum sebagai alternatif terakhir setelah kontrol sosial tidak mempan.
Richard schwartz.
-Kuutza ( kolektivisme) yang lebih efektif adalah kontrol sosial secara internal.
-Mashar ( individualistis) yang efektif, kontrol sosial melalui hukum.
Kaidah Sosial dan Kaidah Hukum sulit dibedakan :
-Karena keduannya teroperasi secara bersama dalam masyarakat.
-Ke-2nya mempunyai tujuan yang sama, sebagai alat kontrol sosial.
-Terjadi saling tarik diantara ke-2nya.
Leopad Pospisil
Kaidah dinamakan hukum jika memenuhi :
( atribut of authority)
-Kaidah itu dinamakan kaidah hukum jika dibuat oleh mereka yang punya kewenangan.
(atribut attention)
-Bahwa kaidah itu mempunyai tujuan dan berlaku secara unversal.
-Kaidah berlaku secara universal dan tidak untuk sementara waktu.

HUKUM DAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN.
Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan.
Hukum
Sosial politik
Ekonomi budaya

Hukum dan politik saling dominan untuk menjadi yang paling unggul/ dominan/ primer dalam konfigurasinya.
Hukum dalam kehidupan sistem sosial hukum menjadi hal yang berpengaruh.
Slah satu sistem yang dominan akan diikuti oleh sistem yang lainnya, demikian juga ketika terjadi supremasi hukum maka aspek-aspek lain mengikuti.
Daniel S. Lev.:
Politik adalah sistem yang primer dan hukum sebagai pengikutnya ( kehidupan negara berkembang/ negara bekas jajahan).
Contoh : Indonesia di masa ORBA.
-ORLA Politik dominan dan hukum menyesuaikan.
-ORBA Ekonomi dan hukum alat melegitimasi ekonomi.
-Orde Refo Politik dominan dan hukum menyesuaikan, walau agenda awal reformasi untuk supremasi hukum.
Mahfud M.D.
“Hukum Produk Politik”
Pengaruh konfigurasi politik terhadap karakter produk hukum
Variabel bebas/ pengaruh Variabel tergantung/ tergantung.
Konfigurasi politik karakter produk hukum
Demokratis responsif/ otonom, contoh kebebasan hakim.
Non demokratis/otoriter konservatif, ortodoks. progressif
Ciri-ciri demokratis:
-Peran serta publik dalam pembuatan kebijakan negara/ publik.
-Badan perwakilan menjalankan fungsi dalam pembuatan kebijakan.
-Pers bebas sebagai fungsi kontrol.
Ciri-ciri hukum yang responsif atau otonom:
-Hukum memenuhi kebutuhan kepentingan individu dan masyarakat.
-Proses pembuatan hukum partisipatif.
-Fungsi hukum sebagai instrumen pelaksana kehendak rakyat.
-Interpretasi hukum dilakukan oleh yudikatif.
Ciri-ciri konfigurasi hukum yang otoriter :
-Pemerintah atau eksekutif dominan.
-Badan perwakilan sebagai alat justifikasi ( tukang stempel).
Pers yang tidak bisa bebas.
Ciri-ciri konservatif:
-Hukum untuk memenuhi visi politik penguasa.
-Pembuatan hukum tidak partisipatif.
-Fungsi hukum sebagai legitimasi program penguasa.
-Hukum abstrak interpretasi penguasa sesuai dengan visi politiknya.

Hukum respresif Hukum otonom Hukum responsif
Tuj. Hukum ketertiban keabsahan kompetensi(kewenangan)
Legitimasi perlind. Masy& kebenaran keadilan
Dasar alasan prosedural substansial
Adnya negara
Peraturan2 Keras, terperin- dibuat dengan tunduk pada asas2 hukum
ci namun lunak teliti & mengi- + kebijakan
dan mengikat kat pada yang
pembuat perat. Membuat & di-
atur.
Alasan bersifat keras, melekat secara sesuai dengan tujuan merupa-
Ad hoc, tepat& ketat pada oto- kan perluasan dari kompeten
Tersendiri. Ritas hukum. Si legislatif tujuannya.
Diskresi Meresap dila- dibatasi oleh a- diperluas, tapi dipertanggung
Kukan sesuai turan, pengesa- jawabkan demi tujuan.
Denagn kesem- han wewenang
Patan yang ada
Pemaksaan Meluas, pemba- dikendalikan o- dicari kemungkinan, kira-kira
tasnya lunak. Leh pembatasan insentifdst yang diciptakan
hukum. Sendiri sesuai kewajiban.
Politik Hukum berada hukum terlepas aspirasi hukum dan politik
Di bawah kekua- dari kekerasan terintegrasi menjadi satu-ke-
saan politik. Politik. Satuan



Bab V Law and Social Changes

PERUBAHAN SOSIAL DAN HUKUM ( SOCIAL CHANGE ).
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan sosial, hanya prosesnay ada yang cepat, ada yang lambat.
Contoh: Orang Asmat beda dengan orang-orang kota.
Perubahan yang terlalu cepat, sehingga kadang hukum sulit untuk mengikutinya.
Robert Sutterland, 4 Faktor yang menyebabkan “Social Change”:
1. Karena ada proses inovation/ pembaruan.
2. Invention : penemuan teknologi di bidang industri, mesin dst.
3. Adaptation : adaptasi yaitu suatu proses meniru suatu cultur, gaya yang ada di masyarakat lain.
4. Adopsim: ikut dalam penggunaan penemuan teknologi.
Perubahan sosial adalah perubahan yang bersifat fundamental, mendasar, menyangkut perubahan niali sosial, pola perilaku, juga menyangkut perubahan institusi sosial, interaksi sosial, norma-norma sosial.
-Hubungan antara Social Change dengan hukum:
hhukum harus mengiuti perubahan sosial.
Hukum Social Change hukum akan merespon perubahan sosial jika ada sosial change, masalahnya hampir sebagian hukum tidak selalu bisa mengikuti perubahan sosial.
Efektivitas hukum sebagai tertib sosial : hukum untuk sosial control.
Pengendalian Sosial, menurut S. Rouck yaitu suatu proses/ kegiatan baik yang bersifat terencana atau tidak yang mempunyai tujuan untuk mendidik (edukatif), mengajak (persuasif), memaksa (represif), agar perilaku masyarakat sesuai dengan kaidah yang berlaku ( konform), sehingga hukum sebagai Agent of Stability ( hukum sbg penjaga stabilitas). Pada suatu ketika hukumada di belakang ( tertinggal).
-Perubahan Sosial.
Adanya perubahan sosial yang cepat tapi hukumnya belum bisa mengikuti disebut hukum sebagai Social Lag yaitu hukum tak mampu melayani kebutuhan sosial masyarakat, atau disebut juga disorganisasi, aturan lama sudah pudar tapi aturan pengganti belum ada.
-Anomie yaitu suatu kondisi di mana individu atau masyarakat tidak bisa mengukur apakah suatu perubahan dilarang atau tidak, malanggar hukum atau tidak.
-Hukum sebagai pelopor perubahan “ Agent of Change”
Setiap perubahan sosial menuntut perubahan hukum palin tidak ada dua institusi:
1. Lembaga Pembentuk Hukum.
2. Lembaga pelaksana Hukum.
Perubahan hukum tidak harus dimaknai perubahan UU atau bunyi pasal.
Hukum Modern:-Hukum tidak hanya merespon perubahan sosial yang terjadi tapi juga merespon hukum masa depan ( futuristik).
Common Law : hukum sebagai Judge Made Law.
Civil Law : yang melakukan perubahan hukum adalah Legislatif.
Lembaga Legislatif lebih berperan sebagai politik daripada eksekutif.
Contoh Pasal 534 KUHP : mematikan penegak hukum : secara normatif ada aturannya tapi prakteknya tidak berfungsi : dilarang mempertontonkan alat kontrasespsi di depan umum.

Roscoe Pound berpendapat bahwa hukumm sebagai alat perubahan sosial, sedangkan Karl Marx justru pendapatnya bertentangan yaitu bahwa perubahan sosial tidak mungkin diciptakan oleh hukum, tetapi teknologi dan ekonomi. Hukum merupakan suprastruktur di atas ekonomi dan teknologi.
Hukum sesungguhnya hanya institusi yang mengikuti perubahan sosial.
Menurut Von Savigny, hukum bukan merubah konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan sosial.
Menurut Summer, ia tdak menyetujui hukum sebagai perubah sosial, menurutnya setiap perubahan sosial terjadi “ mores” yaitu aturan tidak tertulis yang hidup di masyarakat.Jadi hukum hanya melegalisasi mores menjadi hukum.
Hukum tidak sekedar produk masyarakat, tapi bisa dibentuk oleh pembentuk hukum itu sendiri, hakim dst. Jadi hukum bukan semata-mata tumbuh dalam masyarakat secara alami.
Menurut Roscoe Pound, bahwa hukum sebagai alat perekayasa sosial, contoh: hakim merekayasa sosial, terjadi di negara Common Law sedang di negara Civil Law hukum dibentu oleh para pembentuk hukum.
Dalam konsep John Austin, hukum adalah perintah dari kedaulatan, hukum sebagai instrumen yang melakukan/ memenuhi kebutuhan publik.
Pada UU yang baru, dimasukkan hal-hal supaya masyarakatnya berubah, contoh: adanya pengaruh dari luar pada UU HaKI, UU Kepailitan, dengan maksud untuk merubah perilaku orang dibidang HaKI, Kepailitan dst, karena pada awalnya orang Indonesia tidak mempunyai budaya untuk melindungi hak kekayaan intelektual, denagn beranggapan bahwa hal itu karunia Tuhan yang tidak perlu dipertahankan perlindungannya. Akhirnya dalam UU itu diberi muatan agar masyarakat mengetahui hal itu , ada kemungkinan gagal atau mungkin berhasil dalam hal ini. Jika internalisasi berhasil, maka akan diterima oleh masyarakat tapi jika tidak berhasil yang terjadi “ soft development” (perkembangan yang lunak) atau hampir tidak ada pengaruhnya terhadap masyarakat.
Hukum sebagai sarana perubahan sosial, Law As Tool of Social Engeenerig/ social planing.
Hukum diberi muatan nilai baru yang bertujuan untuk mempengaruhi atau menimbulkan perubahan sosial secara terarah dan terencana.
The Process of Social Engeenering by The Law









Nilai baru

Hukum/ UU Role expectation

feed Implementasi
back
Role performance
Social change
Cara melakukan perubahan sosial ( menurut Soerjono Soekanto) :
1. Memberi imbalan ( reward) bagi pemegang peran.
2. Mermuskan tugas penegak hukum untuk menyerasikan peran dan kaidah hukum.
3. Mengeliminasi pengaruh negatif pihak ke-3.
4. Mengusahakan perubahan pada persepsi, sikap dan pemegang peran.
1. direct change
Hukum
2 . Indirect change
Ad 1), Dengan adanya peraturan keputusan baru maka ada perubahan nlai, pola perilaku lembaga-lembaga dst yang seketika / langsung.
Contoh: yurisprudensi MA, hak mewaris janda sama dengan anak kandung: mematahkan pemikiran bahwa warisan hanya untuk yang berhubungan darah.
Contoh lain: UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa syarat usia kawin di hukum Adat tidak ada juga di hukum Islam.
Nilai Sosia adalah suatu persepsi/ anggapan yang ada pada sebagian besar masyarakat mengenai apa yang dianggap buruk, boleh, etis, sopan dst.
Ad 2). Indirect change : terjadi ketika hukum hanya memfasilitasi tumbuhnya Agent of Change.
Contoh: UU No 20 tahun 2003 tentang lembaga pendidikan orang-orang yang pintar,kuat, terdidik, diharapkan bisa mendorong perubahan masyarakat mendatang. Semakin tidak terdidik sesorang, semakin sulit melakukan perubahan sosial, karena cenderung untuk curiga, tidak bisa megakses ke luar, cenderung mempertahankan status quo, tapi kalangan pendidikan justru sebaliknya yaitu cenderung progressif untuk melaukan perubahan sosial.
Menurut Chamblis & Seidman 1971 Law order and Power.
Proses pelembagaan: (1) efektifitas (2) kekuatan menentang
Ditentukan oleh 3 penanaman unsur baru dari masyarakat.
Faktor (3) kecepatan (jangka waktu)
Menanam unsur baru.
Ad 1) Seberapa jauh dalam menanamkan nilai-nilai itu ke dalam perilaku masyarakat.
Ad 2) Sejauh mana resistensi masyarakat terhadap perubahan baru jika eksistensi makin kuat maka pelembagaannya makin berhasil.
Ad 3) Dibagi waktu yang digunakan untuk menanam unsur baru tersebut.
Faktor yang menetukan keberhasilan pencegahan hukum/ efektifitas hukum ada 4 :
1, Pengguanaan situasi yang dihadapi dengan baik.
2, Analisa terhadap nilai-nilai yang ada.
3, Verifikasi hipotesa.
4, Pengukuran efek UU yang ada.
Menurut William Evans : prasarat yang menentukan keberhasilan hukum sebagai alat perubahan sosial :
1. Apakah sumber hukum yang baru memiliki kewenangan dalam wibawa.
2. Apakah hukum yang baru telah memiliki dasar pembenar yang dapat dijelaskan.
3. Apakah isi hukum yang baru telah disiarkan sedcara luas.
4. Apakah jangka waktu peralihan yang digunakan telah dipertimbangkan dengan baik.
5. Apakah penegak hukum menunjukkan rasa ketertarikannya terhadap UU yang baru.
6. Apakah pengenaan sanksi menjadi efektif.


Bab VI
KEPATUHAN HUKUM
DAN KEEFEKTIFAN HUKUM

Keefektifan hukum adalah situasi dimana hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut.
Soerjono Soekanto : 1993 : 5
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan / keefektifan hukum:
1. Hukum/UU /peraturan.
2. Penegak hukum ( pembentuk hukum maupun penerap hukum).
3. Sarana atau fasilitas pendukung.
4. Masyarakat
5. Budaya hukum (legal cultur).

Ad 1) Kalau hukum itu baik, maka ada kejelasannya penafsiran, sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal.
Ad 2) Semua Capres, janji penegakan hukum, berantas KKN, tapi persoalannya dimuali dari orang kemudian sistemnya.
Ad 3) Legal officer tidak profesional, semuanya menjadi tidak berfungsi maksimal. Sebetulnya ke-2 unsur di atas sama fungsinya.Penegak hukum yang baik, kalau peraturannya tidak memadai maka tidak akan berjalan dengan baik.
Ad 4) Masyarakat ( kesadaran hukum).
Hukum
Budaya hk.
Kesadaran hukum variabel perantara yang menghubungkan hu-
Kum dengan perilaku masyarakat.
Perilaku hukum artinya satu variabel yang akan menentukan
Apakah hukum yang ada akan menjadi peri-
Laku hukum/ tidak, sehingga kesadaran hu-
Kum menjadi faktor yang paling menentukan.
Masalahnya banyak masyaraktat yang tidak memiliki kesadaran hukum sehingga kadang hukum hanya berhenti sampai pengaturan saja.
Contoh : sahnya perkawinan/ syarat nikah, bagaiman ? harus sesuai ketentuan UU Perkawinan, untuk itu perlu kesadaran hukum.
Dalam teorinya Berl Kutschinky, kesadaran hukum yaitu variabel yang berisi 4 komponen yaitu:
1. Komponen Legal Awareness yaitu aspek mengenai pengetahuan terhadap peraturan hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi teori hukum menyatakan bahwa ketika hukum ditegakkan maka mengikat. Menurut teori residu semua orang dianggap tahu hukum tapi kenyataannya tidak begitu, maka perlu Legal Awareness. Contoh ketika akan melakukan kontrak, tahu dulu UU-nya.
2. Legal Acquaintances : pemahaman hukum. Jadi orang memahami isi daripada peraturan hukum, mengetahui substansi dari UU.
3. Legal Attitude ( sikap hukum). Artinya kalau seseorang sudah memberikan apressiasi & memberikan sikap : apakah UU baik/ tidak, manfaatnya apa ? dst.
4. Legal Behavior ( perilaku hukum), orang tidak sekedar tahu, memahami tapi juga sudah mengaplikasikan. Banyak orang tidak tahu hukum tapi perilakunya sesuai hukum begitu juga banyak orang tahu hukum tapi justru perilakunya melanggar hukum. Bahwa orang yang memiliki kesadaran hukum yang rendah, misal jika menggunakan skor 4-5, sedang yang tertinggi skor 7-10 dst.Bahwa belum tentu ketentuan pertama menjadi prasarat ketentuan berikutnya.Hal yang lebih ideal, jika ke-4 ketentuan memenuhi sarat. Asumsinya hal di atas dalam keadaan normal ada proses sosialisasi hukum, penyuluhan, pendidikan hukum dst.
Mengapa orang patuh pada hukum?
Menurut Robert Biersted, 1970, The Social Order, Tokyo: Mac Graw Hill Kogakusha Ltd, p. 227-229.
Proses kepatuhan seseorang terhadap hukum kemungkinan adalah:
1.Indoctrination: penanaman kepatuhan secara sengaja.
2.Habituation : pembiasaan perilaku.
3.Utility ;pemanfaatan dari kaidah yang dipatuhi.
4.Group Indentification: mengidentifikasikan dalam kelompok tertentu.
Menurut Herbert C. Kelman 1966, Compliance, identification.
Leopold Pospisil 1971, Antropology of Law, Dasar-dasar Kepatuhan Hukum:
1. Compliance : patuh hukum karena ingin dapat penghargaan dan menghindari sanksi.
2. Identification : menerima karena seseorang berkehendak.
3. Internalization : menerima/ diterima oleh individu karena telah menemukan isi yag instrinsik.
Menurut ( E. Howard& R.S. Summer 1965):
Faktor yang mempengaruhi keefektifan hukum:
1. Mudah tidaknya ketidaktaatan atau pelanggaran hukum itu dilihat/ disidik. Makin mudah makin efektif.Contoh :Pelanggaran narkoba (hukum pidana) lebih mudah dari pada pelanggaran hak asasi manusia(HAM).
2. Siapakah yang bertanggung jawab menegakkan hukum yang bersangkutan. Contoh narkoba: tanggung jawab negara : leih efektif, HAM : taggung jawab individu/ warga : kurang efektif.
Syarat agar hukum efektif (ibid) :
1. UU dirancang dg baik, kaidahnya jelas, mudah dipahani & penuh kepastian.
2. UU sebaiknya bersifat malarang ( prohibitur) dan bukan mengharuskan/ membolehkan ( mandatur).
3. Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan.
4. Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan( sebanding dengan pelanggarannya).
5. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat.
6. Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral.
7. Pelaksana hukum menjalankan tugasnya dg baik, menyebarluaskan UU, penafsira seragam dan konsisten.

Jumat, 20 Mei 2011

SOSIOLOGI HUKUM

SOSIOLOGI HUKUM
Konsep-Konsep Sosiologi Hukum terdiri dari :

I. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Control (Pengendalian Sosial)

Hukum sebagai sosiol control : kepastian hukum à UU yang dilakukan benar benar terlaksana oleh penguasa, penegak hukum. Fungsinya masalah penginterasian tampak menonjol, dengan terjadinya perubahan perubahan pada faktor tersebut diatas, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa sehingga konflik konflik serta kepincangan kepincangan yang mungkin timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat

Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.

Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan. Pengendalian sosial mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya.

II. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Engineering

Hukum dapat bersifat sosial engineering : merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat yang sedang mengalami pergolakan dan pembangunan. Mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum.

Hal ini dimaksudkan dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga hukum modern untuk mengubah alam pikiran masyarakat yang selama ini tidak mengenalnya, sebagai konsekuensi Negara sedang membangun, yang kaitannya menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern.

III. Wibawa Hukum

Melemahnya wibawa hukum menurut O. Notohamidjoyo, diantaranya karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma sosial bukan hukum, norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum, tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya, pejabat-pejabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk memelihara hukum Negara, adanya kekuasaan dan wewenang, ada paradigma hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum.

Dalam artian sebagai berikut :

* hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma norma sosial bukan hukum, melemahnya value sistem dalam masyarakat pada umumnya sebagai akibat dari modernisasi
* norma norma hukum tidak batau belum sesuai dengan norma norma sosial yang bukan hukum, hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga dirasakan sebagai norma norma asing bagi rakyat
* tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya
* pejabat pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum Negara, lalu mengkorupsikan, merusak hukum Negara itu
* pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk madsud maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah yang seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati hkum yang berlaku

IV. Ciri-ciri Sistem Hukum Modern

Sistem hukum yang modern haruslah merupakan hukum yang baik, dalam arti hukum tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat/diatur oleh hukum tersebut. Hukum tersebut harus sesuai dengan kondisi masyarakat yang diaturnya. Hukum tersebut harus dibuat sesuai dengan prosedur yang ditentukan. Hukum yang baik harus dapat dimengerti atau dipahami oleh para pihak yang diaturnya.

Ciri ciri hukum modern margalante : jujur, tepat waktu, efisiensi, orientasi, kemasa depan, produktif, tidak status symbol 91

* terdiri dari peraturan yang isi dan pelaksanaannya seragam
* sistem hukum yang transaksional dimana hak dan kewajiban dalam perjanjian tidak memandang usia, kelas, agama dan jenis kelamin
* bersifat universal dan dilaksanakan secara umum
* adanya hirarkis yang tegas
* melaksanakan hukum sesuai dengan prosedur
* rasional
* dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman
* spesialisasi dan diadakan penghubung diantara bagian bagian
* hukum mudah berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat
* penegak hukum dan lembaga pelaksana hukum adalah lembaga kenegaraan, artinya Negara memonopoli kekuasaan
* perbedaan yang tegas diantara 3 lembaga Negara ( eksekutif – legislative – yudicatif )

V. Suatu kenyataan bahwa hukum hanya diperlukan untuk mereka yang stratanya rendah sedangkan strata tinggi seolah kebal hukum.

Hingga saat ini banyak pelaku kejahatan kelas atas atau yang disebut kejahatan Kerah Putih (White Colour Crime) yang dihukum sangat ringan bahkan tidak sedikit yang divonis bebas, karena mereka memegang kekuasaan dan wewenang yang dapat mengintervensi para penegak hukum, hal ini berakibat bahwa mereka yang berstrata tinggi seolah kebal hukum dan sebaliknya hukum hanya dipergunakan untuk mereka yang berstrata rendah.

VI. Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi

Merupakan naskah yang berisikan sorotan sosial hukum terhadap peranan sanksi dalam proses efektivikasi hukum. Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas, diantaranya : hukumnya, penegak hukum, fasilitas, kesadaran hukum masyarakat dan budaya hukum masyarakat.

Cara mengatasinya :

1. eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
2. para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai dengan hukum hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu
3. lembaga MPR sesuai dengan ketentuan UUD 1945 melakukan pengawan terhadap kerja lembaga lembaga Negara.

VI. Efektifitas Hukum

Efektifitas dari hukum Suryono :

* hukumnya à memenuhi syarat yuridis, sosiologis, filosofis
* penegak hukumnya à betul betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku
* fasilitasnya à prasarana yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya
* kesadaran hukum masyarakat à warga masyarakat bilamana terjadi seorang warga tertabrak di daerah Pamanukan dan Kapetakan ( Cirebon ) tidak main hakim sendiri
* budaya hukumnya à perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku

VII. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum

Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan kesadaran/nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan.

Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum, hal yang membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi.

* kesadaran : tidak ada sanksi, merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.

Indicator kesadaran hukum :

1. pengetahuan hukum
2. pemahaman hukum
3. sikap hukum

pola perilaku hukum

* kepatuhan : ada sanksi positif dan negative, ketaatan merupakan variable tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengannn dukungan sosial

faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum

1. compliance :

kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum tersebut.

2. identification

terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar ke anggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengn mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut

3.internalization

seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsic kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.

4. kepentingan kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah hukum yang ada
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 03.22 0 komentar
Label: Sosiologi Hukum
Apakah Sosiologi Hukum

Apakah Sosiologi Hukum…?

Sosiologi Hukum berisi mengenai implementasi dari kehidupan dan peristiwa sehari-hari yang dihubungkan dengan sosiologi hukum dan filsafat hukum. Hukum secara sosiolog adalah penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah kaidah dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Jadi sosiologi hukum berkembang atas dasar suatu anggapan dasar bahwa proses hukum berlangsung didalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. Artinya adalah bahwa hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial terlebih dahulu dan bahwa hukum merupakan suatu proses. Seorang ahli sosiologi menaruh perhatian yang besar kepada hukum yang bertujuan untuk mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas warga-warga masyarakat serta memlihara integrasinya karena warga-warga masyarakat menggunakan, menerapkan, dan menafsirkan hukum dan dengan memahami proses tersebut barulah akan dapat dimengerti bagaimana hukum berfungsi dan bagaimana suatu organisasi sosial memeberi bentuk atau bahkan menghalang-halangi proses hukum.

Sosiologi hukum diperlukan dan bukan merupakan penamaan yang baru bagi suatu ilmu pengetahuan yang telah lama adaJadi pada dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perikelakuan dalam masyarakat yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama daripada orang-orang yang hidup bersama dalam masyarakat, dengan demikian dapatlah dirumuskan bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk mentaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya.

Beberapa Masalah yang Disoroti Sosiologi Hukum :

1. Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat
2. Persamaan-persamaan dan Perbedaan-perbedaan Sistem-sistem Hukum
3. Sifat Sistem Hukum yang Dualistis
4. Hukum dan Kekuasaan
5. Hukum dan Nilai-nilai Sosial Budaya
6. Kepastian Hukum dan Kesebandingan
7. Peranan Hukum sebagai Alat untuk Mengubah Masyarakat

Suatu sistem hukum pada hakekatnya merupakan kesauan atau himpunan berbagaicita-cita dan cara-cara dengan mana manusia berusaha mengatasi masalah-masalah yang nyata maupun potensilyang timbul dari pergaulan hidup sehari-hari yang menyangkut kedamaian. Penelitian-penelitian sosiologis telah menghasilkan data untuk membuktikan bahwa ketertiban dan ketentraman pada hakekatya merupakan suatu refleksi daripada nilai-nilai sosial dan pertentangan kepentingan-kepentingan didalam suatu sistem sosial. Walaupun hukum mengatur semua aspek sosial tetapi hukum mempunyai batasan-batasan untuk dapat dipergunakan sebagai alat pencipta maupun pemelihara tata tertib pergaulan hidup manusia. Agar tidak terjadi penyelewengan hukum maka ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan sosiologi pada khususnya dapat memberikan petunjuk dan manfaat yang banyak demi terciptanya iklim sosial yang mnguntungkan pelaksanaan hukum secara efektif.

Apabila dikaitkan dengan filsafat hukum, bahwa perlu cara untuk memandu sesorang agar memperoleh gambaran yang jelas tentang apa hukum itu. Banyak literatur yang mencoba memecahkan persoalan ini, demikian halnya dengan teori dan filsafat hukum. Keragamanan tidak harus membingungkan, paling tidak menurut tulisan dalam buku ini akrena pada dasarnya argumentasi tertentu bertolak dari cara berpikir yang tidak seragam yang dilator belakangi oleh pendidikan serta kehidupan seharai-hari yang berbeda pula.

Dilihat dari perkembangan aliran pemikiran (hukum) satu aliran pemikiran akan bergantung pada aliran pemikiran lainnya sebagai sandaran kritik untuk membengun kerangka teoritik berikutnya. Munculnya aliran pemikiran baru tidak otomatis bahwa aliran atau pemikran lama ditinggalkan. Sulitnya untuk meramu seluruh ide yang berkembang dalam hukum, karena dua alasan yaitu :

- Hukum adalah objek kajian yang masih harus dikonstruksi (dibangun) sebagaimana kaum konstrukvitis menjelaskan, diciptakan menurut istilah positivistic atau menggunakan bahasa kaum hermeniam ‘ditafsirkan’ sehingga dengan demikian cara pandang seseorang tentang hukum akan ditentukan oleh bagimana orang tersebut mengonstruksi, menciptakan atau menafsirkan mengenai apa yang disebut hukum itu.

- Satu pemikiran (aliran tertentu) akan memiliki latar belakang atau sudut pandang yang berbeda dengan aliran (pemikiran) lain, ini merupakan ragam kelemahan dan keunggulan masing-masing. Kondisi ini pada dasarnya memberikan keleluasaan karena hukum akan menjadi wilayah terbuka yang mungkin saja hailnya lebih positif.

Kata ‘hukum’ digunakan banyak orang dalam cara yang sangat umum sehingga mencakup seluruh pengalaman hukum, betapapun bervariasinya atau dalam konteksnya yang sederhana. Namun dalam sudut pandang yang paling umum sekalipun, hukum mancakup banyak aktivitas dan ragam aspek kehidupan manusia.

Memahami hukum berarti memahami manusia, ini merupakan bukan semata-mata gambaran secara umum tentang hukum yang ada selama ini, pandangan yang mengarah kepada “the man behin the gun” membuktikan bahwa actor dibelakang memegang peran yang lebih dominant dari sekedar persoalan struktur. Apabila Cicero mengatakan bahwa ada masyarakat ada hukum, maka yang sebenarnya dia bicarakan adalah hukum hidup ditenga-tengah masyarakat (manusia). Hukum dan manusia memiliki kedekatan yang khas dan tidak dapat dipisahkan, artinya tanpa manusia hukum tidak dapat disebut sebagai hukum. Dalam hukum manusia adalah sebagai actor kreatif, manusia membangun hukum, menjadi taat hukum namun tidak terbelenggu oleh hukum.

Sulit untuk menguraikan penyebab utama dari seluruh persoalan yang menimpa hukum di Indonesia, tidak saja bersangkut-paut dengan masalah substansial (produk hukum yang ketinggalan zaman), lebih dari itu penegakan dan komitmen moral yang lemah telah ikut menyebabkan banyaknya persoalan yang muncul.

Tetapi, terlepas dari semuanya, kita harus menyadari bahwa persoalan yang terjadi saat ini bersifat akumulatif dan bervariasi, masalah tidak bergerak linier tetapi berputar-putar sehingga sulit mencari akar permasalahannya, saling terkait, tapi itulah sebuah konsekuensi yang harus ditanggung dari kondisi kehidupan hukum yang kumuh.

Harmoni Pembangunan Hukum [1])

Kita telah terlanjur terbiasa untuk memandang hukum sebagai suatu yang bersifat represif dan memandang konstitusi hanya sebagai wadah perjanjian persetujuan belaka sehingga kita mengabaikan kekuatan besar yang sebenarnya terkandung didalam konstitusi dan didalam setiap sistem hukum manapun yaitu kekuatan yang mampu memaksa hukum agar dapat diterima dan lestari hidup.

Agar sistem hukum dapat berjalan baik, ada empat gagasan menurut Parsons :

1. Masalah legitimasi (landasan bagi pentaatan kepada aturan).

2. Masalah interpretasi (penetapan hak dan kewajiban subjek hukum, melalui proses penerapan aturan tertentu).

3. Masalah sanksi (sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya).

4. Masalah Yuridiksi (Penetapan garis kewenangan yang kuasa menegakkan norma hukum dan golongan apa yang hendak diatur oleh perangkat norma itu).

Namun harus dipahami bahwa sistem hukum akan berkaitan dengan sistem politik (khususnya mengenai yuridiksi) oleh karena itu meski secara analitis dapat dipisahkan, hal ini berkaitan dengan diletakkannya peradilan sebagai posisi sentral di dalam tertib hukum sedangkan perumusan kebijakan melalui badan legislatif sebagai inti kekuasaan politik.

Apabila berbicara mengenai proses yang tertuang dalam UUD 1945 yang terdiri dari beberapa alenia, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa yang terkandung didalam 4 alenia pembukaan tersebut adalah :

1. Pembukaan alenia pertama, secara substansial mengandung pokok pri keadilan, konsep pemikiran yang mengarah kepada kesempurnaan dalam menjalankan hukum didalam kehidupan.

2. Pembukaan alenia kedua, adil dan makmur, merupakan implementasi dari tujuan hukum yang pada dasarnya yaitu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.

3. Pembukaan alenia ketiga, mengatur mengenai hubungan manusia denganTuhan atau penciptanya yang telah mengatur tatanan di dunia ini.

4. Pembukaan alenia keempat, mengenai lima sila dari Pancasila yang merupakan cerminan dari nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun-temurun dan abstrak yang Pancasila merupakan kesatuan sistem yang berkaitan erat tidak dapat dipisahkan.

Itulah hakikat utama dari pemahaman dan pemaknaan holistik. Secara keilmuan pemahaman ini akan memberikan warna yang berbeda tentang apa yang kita pahami dan apa yang akan kita lakukan. Dan tidak semata-mata hanya berbicara tentang persoalan hukum negara tetapi lebih jauh memahami konteks yang realistis dari upaya pembangunan hukum yang lebih terarah.
[1]) Otje Salman, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 03.20 0 komentar
Label: Sosiologi Hukum
Sosiologi Hukum

sosiologi : ilmu yang mempelajari individu dengan individu, keluarga dengan keluarga, kelompok dengan kelompok.

Bahmen : perkembangan dan hambatan ( lebih teoritis )

Sorokim : ilmu yang mempelajari gejala sosial, nonsosial dan ciri ciri umum dari gejala sosial à gejala yang ada di masyarakat, yang berkaitan dengan kebutuhan pokok, primary need, yaitu ekonomi, sosial, politik, agama, hukum

Ekonomi : kemakmuran

Politik : kekuasaan

Sosial : status

Budaya : materiil, spiritual ( agama )

Hankam : lahiriah

Agama :

Hukum : keadilan, kepastian, kegunaan, kebahagiaan

Berbicara ( sosiologi ) normal dan ubnormal

Strukur sosial : keseluruhan jalinan dan nilai nilai dari unsure sosiol yang pokok

1. lembaga sosial : unla/universitas
2. kelompok sosial : partai, lsm
3. stratifikasi sosial : kelas yang ada di masyarakat à kelas kaya , kelas miskin ;

kekuasaan à penguasa dan bukan penguasa ; kehormatan à pemuka, bukan pemuka ; keilmu à ilmuwan, bukan ilmuwan

1. kekuasaan dan wewenang : kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya, kepada pihak
1. otot
2. kewenangan
2. budaya

karya, rasa, cipta, karsa à aplikasi

1. norma : patokan tentang tingkah laku yang seharusnya

norma hukum, agama ( zinah ), kesusilaan ( 289 perkosaan ), kesopanan ( penghinaan depan umum )

abnormal : meresahkan à kejahatan, korupsi, drugs } ada yang manifest ada yang laten

SOSIOLOGI HUKUM

1. sejarah sosiologi hukum sebagai mata kuliah

Sebelum 1976 di Unpad lahir satu konsepsi hukum yang dikemukakan Prof Mochtar, sebagai jawaban terhadap bapenas yaitu konsepsi hukum yang mendukung pembangunan “Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional” dan “Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional” tahun 1976, bahwa hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur hidup manusia dalam mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam kenyataan.

“Hukum dalam masyarakat dan hukum pembangunan nasional tahun 1976 “Hukum keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hidup manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses didalam mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan.

Menurut mazhab Unpad “hukum tidak hanya bertujuan untuk mencapai ketertiban dan keadilan saja, akan tetapi dapat pula berfungsi sebagai saran untuk merubah / memperbaharui masyarakat”. Pandangan itu menggabungkan pandangan normative dan sosiologis dalam pembinaan hukum, yang memandang bagaimana hukum dapat berperan serta terutama didalam menghadapi situasi Negara Indonesia yang lagi melakukan pembangunan. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses yang menyangkut seluruh aspek aspek kehidupan manusia, yang hanya dapat didekati dengan pendekatan sosiologis

1. sejarah sosiologi hukum sebagai ilmu pengetahuan

Lahirnya dipengaruhi 3 disiplin ilmu :

* Filsafat hukum à hans kelsen à teori hirarki à gunor dasar sosial ( merupakan ruang lingkup filsafat )

Aliran positivisme : aliran filsafat hukum yang menjadi penyebab lahirnya Sosiologi Hukum. Dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan Stufenbau des Recht-nya. Hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Dimana urutannya adalah sebagai berikut : yang paling bawah itu = putusan badan pengadilan, atasnya = undang undangan dan kebiasaan, atasnya lagi = konstitusi dan yang paling atas = grundnorm ( dasar sosial daripada hukum )

Aliran filsafat hukum yang mendorong tumbuh dan berkembangnya

* Mazhab sejarah : Carl von Savigny à hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama sama dengan masyarakat
* Aliran utility : Jeremy Betham à hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat, guna mencapai hidup bahagia
* Aliran sociological yurisprudence : Eugen Ehrlich à hukum yang dibuat, harus sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat ( living law )
* Aliran pragmatic legal realism : Roscoe Pound à “law as a tool of social engineering“
* Ilmu Hukum
o Hukum sebagai gejala sosial, yang mendorong pertumbuhan sosiologi hukum, bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir anasir sosiologis
* Sosiologi yang berorientasi pada hukum
o Emile Durkheim à setiap masyarakat selalu ada solidaritas yaitu
+ Solidaritas mekanis : terdapat dalam masyarakat sederhana, hukumnya bersifat represip yang diasosiasikan seperti dalam pidana.
+ Solidaritas organis : terdapat dalam masyarakat modern, hukumnya bersifat restitutif yang diasosiasikan seperti dalam perdata.
o Max Weber à teori ideal typenya
+ Irrasional formal
+ Irrasional materiel
+ Rasional formal : pada masyarakat modern yang didasarkan pada konsep konsep ilmu hukum
+ Rasional materiel

1. bagaimana sikap para 2 ahli
1. Prof Soeyono Soekanto

Hukum secara sosiologi merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang diartikan sebagai suatu himpunan nilai nilai, kaidah kaidah dari pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan kebutuhan pokok manusia dan saling mempengaruhi.

Sosiologi hukum merupakan refleksi dari inti pemikiran pemikiran tersebut.

1. i. Aliran hukum alam ( aristoteles, Aquinas, Grotius )
1. hukum dan moral
2. keepastian hukum dan keadilan sebagai tujuan dari sistem hukum
3. ii. madzhab formalisme ( Austin, kelsen )
1. logika hukum
2. fungsi keajegan dari pada hukum
3. peranan formal dari petugas hukum
4. iii. mazhab kebudayaan dan sejarah ( Carl von Savigny, maine )
1. kerangka budaya dari hukum, termasuk hubungan antara hukum dan sistem nilai nilai
2. hukum dan perubahan perubahan sosial
3. iv. aliran utilitarianisme dan sociological jurisprudence ( Bentham, Jhering, Ehrlich, Pound )
1. konsekuensi konsekuensi sosial dari hukum ( W. Friedman )
2. penggunaan yang tidak wajar dari pembentuk undang undang
3. klasifikasi tujuan tujuan mahluk hidup dan tujuan tujuan sosial
4. v. aliran sociological jurisprudence ( erlich, pound ) dan legal realism ( holmes, Llewellyn, frank )
1. hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial
2. faktor faktor politis dan kepentingan dalam hukum, termasuk hukum dan stratifikasi sosial
3. hubungan antara kenyataan hukum dengan hukum yang tertulis
4. hukum dan kebijaksanaan kebijaksanaan hukum
5. segi perikemanusiaan dari hukum
6. studi tentang keputusan keputusan pengadilan dan pola pola perikelakuannya

1.
1. Prof Sacipto

Pendapat Prof Sacipto Raharjo : cabang dari sosiologi hukum à ilmu yang mempelajari fenomena hukum, dari sisinya tersebut dibawah ini disampaikan bebereapa karakteristik dari studi hukum secara sosiologis

1. memberikan penjelasan mengenai praktik praktik hukum baik oleh para penegak hukum maupun masyarakat. Apabila praktik praktik tersebut dibedakan ke dalam pembuatan peraturan perundang undangan, penerapan dan pengadilan, maka sosiologi hukum juga mempelajari, bagaimana praktik yang terjadi pada masing masing kegiatan hukum tersebut.
2. senantiasa menguji keabsahan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, apabila hal itu dirumuskan dalam suatu pertanyaan, pertanyaan itu adalah : bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?, apakah kenyataan memang seperti tertera pada bunyi peraturan? Terdapat suatu perbedaan yang bvesar antara pendekatan tradisional yang normative dan pendekatan sosiologis yaitu bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada aturan hukum, sedang yang kedua senantiasa menguji dengan data empiris.
3. berbeda dengan ilmu hukum, sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Perilaku yang mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatian yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap penjelasan terhadap objek yang dipelajari. Sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum dari segi objektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata

7 KONSEP SOSIOLOG HUKUM:

* hukum sebagai sosiol control : kepastian hukum à UU yang dilakukan benar benar terlaksana oleh penguasa, penegak hukum. Fungsinya masalah penginterasian tampak menonjol, dengan terjadinya perubahan perubahan pada faktor tersebut diatas, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa sehingga konflik konflik serta kepincangan kepincangan yang mungkin timbul tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat.
* hukum dapat bersifat sosial engineering : merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat yang sedang mengalami pergolakan dan pembangunan. Mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum.
* wibawa hukum Noto Hamijoyo
o hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma norma sosial bukan hukum, melemahnya value sistem dalam masyarakat pada umumnya sebagai akibat dari modernisasi
o norma norma hukum tidak batau belum sesuai dengan norma norma sosial yang bukan hukum, hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga dirasakan sebagai norma norma asing bagi rakyat
o tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya
o pejabat pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum Negara, lalu mengkorupsikan, merusak hukum Negara itu
o pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk madsud maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah yang seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati hkum yang berlaku
* ciri ciri hukum modern margalante : jujur, tepat waktu, efisiensi, orientasi, kemasa depan, produktif, tidak status symbol 91
o terdiri dari peraturan yang isi dan pelaksanaannya seragam
o sistem hukum yang transaksional dimana hak dan kewajiban dalam perjanjian tidak memandang usia, kelas, agama dan jenis kelamin
o bersifat universal dan dilaksanakan secara umum
o adanya hirarkis yang tegas
o melaksanakan hukum sesuai dengan prosedur
o rasional
o dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman
o spesialisasi dan diadakan penghubung diantara bagian bagian
o hukum mudah berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat
o penegak hukum dan lembaga pelaksana hukum adalah lembaga kenegaraan, artinya Negara memonopoli kekuasaan
o perbedaan yang tegas diantara 3 lembaga Negara ( eksekutif – legislative – yudicatif )
* suatu kenyataan hukum hanya berlaku bagi mereka yang strata rendah, strata tinggi kebal hukum

stratifikasi yang ada didalam masyarakat disebabkan adanya penghargaan masyarakat di dalam segala hal, sehingga timbul mereka yang ada pada stratifikasi sosial yang tinggi, hukum yang diperlukan kepadanya lebih sedikit dari pada mereka yang berada pada stratifikasi sosial yang rendah

cara mengatasinya :

1. eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
2. para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai dengan hukum hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu
3. lembaga MPR sesuai dengan ketentuan UUD 1945 melakukan pengawan terhadap kerja lembaga lembaga Negara.

* efektifitas dari hukum suryono
o hukumnya à memenuhi syarat yuridis, sosiologis, filosofis
o penegak hukumnya à betul betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku
o fasilitasnya à prasarana yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya
o kesadaran hukum masyarakat à warga masyarakat bilamana terjadi seorang warga tertabrak di daerah Pamanukan dan Kapetakan ( Cirebon ) tidak main hakim sendiri
o budaya hukumnya à perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku
* kesadaran hukum dan kepatuhan hukum
o kesadaran : tidak ada sanksi, merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.

Indicator kesadaran hukum :

1. pengetahuan hukum
2. pemahaman hukum
3. sikap hukum

pola perilaku hukum

*
o kepatuhan : ada sanksi positif dan negative, ketaatan merupakan variable tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengannn dukungan sosial

faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum

1. compliance :

kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum tersebut.

2. identification

terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar ke anggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengn mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut

3. internalization

seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsic kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.

4. kepentingan kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah hukum yang ada

Kamis, 20 Januari 2011

Tugas Belajar Hukum: Makalah Pidana Pers

Tugas Belajar Hukum: Makalah Pidana Pers

Makalah Pidana Pers

BAB I

PENDAHULUAN



Latar Belakang



Pers merupakan institusi yang memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan opini publik dan efektif penyebarluasan informasi. Dibanding mekanisme penyebaran informasi lainnya, seperi seminar, lokakarya, penataran, rapat umum dan sebagainya. Pers memiliki potensi menjangkau audien jauh lebih banyak dan menyebarkan informasi ke lingkungan yang lebih jauh, lebih luas dalam waktu relatif yang singkat.

Pers sebagai media informasi merupakan pilar ke-empat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya kesimbangan dalam suatau negara. Berbicara mengenai pers maka tidak akan lepas berbicara mengenai kebebasan pers, karena kebebasan pers merupakan bagian penting atau ruh hidup matinya pers. Kebebasan pers yang bertanggung jawab merupakan prasyarat utama bagi sebuah negara dalam memperjuangkan kemajuan bangsa dan rakyatnya. Ini menjadi keniscayaan dalam masyarakat yang demokratis.

Kebebasan pers seperti ini sangat perlu dan penting, bukan hanya bagi para pekerja pers, tetapi juga bagi seluruh rakyat danb bangsa. Tanpa kebebasan pers, mustahil jurnalis atau pers akan mampu menjalankan tugas/peran sosialnya dengan baik dan optimal.

Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yaitu diatur dalam Pasal 28 yang berbunyi :

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan dan sebagainya ditetapkan Undang-undang



Pers yang meliputi media cetak dan media elektronik dan media lainnya, merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan tersebut.

Kebebasan pers kadang kebablasan karena berita atau tayangan yang diekspose mediacetak/elektronik telah menyimpang dari koridor hukum,budaya dan agama. Dimana jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) sebagai unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana.

Jika terjadi demikian, apakah insan pers dibiarkan saja dengan alasan di bawah tekanan waktu atau kebebasan pers yang dijami kebebasannya akan terkekang. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan tau fitnah dengan menggunakan pers sebagai media. Seperti Tjipta Lesmana menyatakan bahwa : “ Print it, and be damned! Itulah salah satu prinsip kerja jurnalis. Yang penting, beritakan dulu! Urusan lain, belakangan. Wartawan yang yang nulis ngawur atau dengan sikap reckless disregard, bukan saja harus dijewer, tetapi juga diukum keras”. Lebih lanjut menurutnya “kebebasan pers Indoesia sesungguhnya sudah kebablasan, suasananya mirip pada periode tidak lama setelah jatuhnya Orde Lama di awal tahun 1966, ketika itu pers seakan tidak mengenal batasan apapun, sehingga mereka menganggap bebas memberitakan apa saja yang dinilainya fits to print”.[1]

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (untuk selanjutnya disebut dengan “UU Pers”) telah mengatur proses penyelesaian sengketa pers berkaitan dengan materi pemberitaan, sebagaimana disebutjkan dalam Pasal5 ayat (2) menyatakan :

“Pers wajib Melayani hak jawab”.

Masyarakat sering merasa dirugikan oleh karena hak jawab itu tidak mendapatkan tempat yang proporsional dalam pandangan masyarakat. Hak jawab itu leih sering dilaksanakan hanya sebagai kewajiban saja, namun tidak memperhatikan akibat yang telah ditimbulkan dari pemberitaan sebelumnya. Seperti yang dikemukakan oleh Tjipta Lesmana : “ Banyak wartawan yang beranggapan kalau ada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan, silahkan gunakan hak jawab. Jika pers sudah memuat bantahan atau koreksian,masalahpun diangggap selesai. Jika masih juga tidak puas, silahkan lapor ke Dewan Pers”[2]. Dari uraian tersebut terlihat begitu gampang begitu delik pers diselesaikan. Siapapun tahu bahwa pemuatan bantahan dama sekali tidak mengurangi rasa malu dan kerusakan martabat yang dialamai korban dalam kasus penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik.

Pemberitaan pers cukup tajam bagi pembaca, jika suatu pesan, opini, pendapat, kritik dan sebagainya sudah masuk pers bukan main tajamnya. Faktor kepercayaan pembaca atau penonton atau pendengar dikarenakan adanya sifat ingin tahu,couriousty makhluk sosial, akibat adanya kebutuhan komunikasi. Opini publik bisa langsung mendukung berita pers (yang menghujat).[3]

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sendiri belum mengakomodir mengenai permasalahan tersebut yaitu pencemaran kehormatan dan nama baik. Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah serta masalah pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 ayat (2) UU Pers). Sementara itu, selebihnya UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawabdan hak koreksi untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah.

UU Pers sendiri tidak mengatur secara tegas siapa yang harus menjadi penanggung jawab dalam perusahaan pers terhadap berita-berita yang dikeluarkan apakah itu Pemimpin Redaksi atau wartawan. Pasal 12 UU Pers berbunyi :

Perusahan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung

jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, khususnya

untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.



Berdasarkan isi pasal tersebut di atas dapat diartikan bahwa perusahaan pers hanya wajib mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab dalam perusahaan pers. Sehingga dapat terjadi bias dalam masalah pertanggungjawaban mengenai penerbitan berita dalam perusahaan pers.

Pasal 5 ayat (1) UU Pers menyebutkan :

Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asa praduga tak bersalah.



Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Pers tersebut di atas dapat diartikan bahwa seorang wartawan dikategorikan melakukan kesalahan apabila, melanggar norma agama,norma susila, dan asas praduga tak bersalah. Jika ada penyebarluasan berita bohong atau berita yang sangat tidak bertanggung jawab sehingga ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, maka penegak hukum harus mempergunakan pasal-pasal penghinaan (Pasal 310) KUHP, karena UU Pers belum mengatur masalah tersebut (delik pers). hukum pidana dan pers sering dipertentangkan, hukum memiliki fungsi mengatur dan pers mengedepankan kebebasan kemungkinan dari jeratan hukum.

Menurut Oemar Seno adji dalam bukunya “Perkembangan Delik Pers Di Indonesia” ada 2 (dua) system pertanggungjawaban pidana atau suatu tulisan, yaitu :

Dalam kehidupan hukum pers, dikenal 2 (dua) system berturut-turut, dimana dalam sistem hukum pidana pertanggungjawaban pidana didasarkan atas ajaran “Penyertaan” dan ajaran kesalahan “Schuldleer” dan dicari the actual and real wrongdo-er” (siapa sebenarnya yang melakukan kesalahan dan tidak dikenal pertanggungjawaban fiktif dan susesif). Hal tersebut diperlakukan terhadap redaksi yang mengenal 2(dua) persyaratan yaitu : mengetahui sewaktu tulisan yang bersangkutan dimasukkan dan sadar akan sifat pidana dari tulisan dan telah dikemukakan adanya kekecualian dari pertanggungjawaban atas ajaran “penyertaan” ialah pertanggungjaaban pidana dari penerbit dan pencetak, jikalau persyaratan yang disebut dalam Pasal 61 dan 62 KUHP (dengan kaitannya dengan pasal-pasal 483 dan 484 KUHP).[4]



Meskipun suatu pemberitaan (tulisan atau gambar) disebutkan dengan kata-kata “di luar tanggung jawab redaksi” bukanlah hal yang yuridis menentukan tentang terhadap pemidanaan apakah redaksi tersebut bertanggungjawab pidana atau tidak. Dengan mengingat kriteria di atas yaitu mengetahui sewaktu tulisan itu masuk dan sadar akan sifat pidana dari tulisan itu, maka ia akan dikeluarkan dari tanggung jawab pidana apabila tidak memenuhi kedua persyaratan sedangkan sebaliknya apabila kedua persyaratan atau salah satu tidak dipenuhi oleh redaksi, maka ia tidak dapat menghindari dari pertanggungjawaban pidana. Walaupun dinyatakan bahwa tulisan yang bersangkutan adalah di luar tanggung jawabnya.[5]

Pasal 61 KUHP menyatakan :

Ayat (1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan,penerbitnya selaku demikian tidak dapat dituntut apabila dalam barang cetakan disebut nama dan tempat tinggalnya sedangkan pembuatnya dikenal, atau setelah dimulai penuntutan pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan oleh penerbit.

Ayat (2) Aturan ini tidak berlaku jka pelaku pada saat barang cetakan terbit, tidak dapat dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia.



Pasal 62 KUHP Menyatakan :

Ayat (1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, pencetaknya selaku demikian tidak dituntut apabila barang cetakan tersebut dan tempat tinggalnya, sedangkan orang yang menyuruh mencetak dikenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali diberitahukan oleh pencetak.

Ayat (2) Aturan ini tidak berlaku, jika orang yang menyuruh mencetak pada saat barang cetak terbit, tidak dapat dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia.



Pasal 483 KUHP Menyatakan :

Barangsiapa menerbitkan suatu tulisan atau sesuatu gambar yang karena sifatnya merupakan delik, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda denda paling banyak Rp. 4.500 jika :

1. Si pelaku tidak diketahui namanya dan juga tidak diberitahukan namanya oleh penerbit pada peringatan pertama sesudah penuntutan berjalan terhadapnya;

2. Penerbit sudah mengetahui atau patut dapat menduga pada waktu tulisan atau gambar itu diterbitkan, si pelaku itu tidak dapat dituntut atau akan menetap di luar Indonesia.



Pasal 484 KUHP Menyatakan :

Barangsiapa mencetak tulisan atau gambar yang merupakan delik, diancam dengan pidana penjara paling lama datu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling ama datu tahun, atau pidana denda paling banyak Rp. 4500, jika :

1. Orang yang menyuruh mencetak barang tidak diketahui, dan setelah ditentukan penuntutan, pada teguran pertama kali tidak diberitahukan olehnya;

2. Pencetak mengtahui atau seharusnya menduga bahawa orang yang menyuruh mencetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar Indonesia.



“…..tanggung jawab pidana dari seorang penerbit dan pencetak menurut Pasal 61 dan 62 KUHP menyimpang dari ajaran penyertaan (deelneming) dan mereka dapat menghindari penuntutan, apabila beberapa persyaratan dipenuhi, seperti nama dan tempat tinggal penerbit (pencetak) disebut, penulisnya diketahui, dikenal atau diberitahukan, setelah dimuliai penuntutan, pelaku pada saat barang ctakan tersebut terbit, dapat dituntut ataupun meneatap di luar Indonesia. Dari pada itu, dalam hal persyaratan tersebut tidak dipenuhi (dalam Pasal 61 dan 62 KUHP), maka diadakan sanksi pidana dalam Pasal 483 dan 484 KUHP”.[6]



Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, memang sudah memposisikan pers nasional sebagai the fourth estate, pilar Ke-empat demokrasi menurut ketentuan di dalamnya yakni Pasal3, Pasal 4, dan Pasal 6. Tetapi Undang-undang Pers ini sendiri tidak memposisikan sebagai lex specialis terhadap pasal-pasal delik pers dalam KUH Pidana.





Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimanakah pertanggungjawaban pers terhadap pemberitaan yang merugikan nama baik orang lain ditinjau dari perspektif hukum pidana ?



Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Tujuan penulisan makalah

Untuk mengetahui pertanggungjawaban pers terhadap pemberitaan yang merugikan nama baik orang lain ditinjau dari perspektif hukum pidana.



Kegunaan penulisan makalah

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya yang menyangkut tanggung jawab pers dalam perspektif pidana.




D. Tinjauan Pustaka

Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Berdasarkan Kamus Besar Indonesia “Pertanggungjawaban” berarti perbuatan (hal dan sebagainya), bertanggung jawab : sesuatu yang dipertanggungjawabkan[7]. Dalam bahasa asing, pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “Criminal responsibility” atau “Criminal liability”, telah diutarakan bahwapertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah sesorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atau suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak[8].

Menurut E.Y Kanter dan S.R Sianturidalam bukunya “ Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” berpendapat :

Pertanggungjawaban merupakan salah satu syarat untuk menjatuhkan sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku perbuatan terlarang. Dengan kata lain , pertanggungjawaban pidana merupakan unsure subyektif untuk dapat memidana seseorang yang secara obyektif melakukan perbuatan pidana.[9]



Pengertian Pertanggungjawaban Pers

Pengertian Pers

Pengertian press (Inggris) atau pers (Belanda) berasal dari bahasa latin pressare yang berarti tekan atau cetak. Pers lalu diartikan sebagai media cetak (printing media)[10]. Istilah pers lazim dipakai masyarakat untuk surat kabar atau majalah. Pers menurut Weinner yang dikutip dari Masduki memiliki 3 (tiga) arti,yaitu :

Wartawan media cetak.

Publisitas atau peliputan.

Media cetak atau naik cetak.[11]

Pers dalanm kosa kata Indonesia berasal dari bahasa belanda yang mempunyai arti yang sama dengan bahasa Inggris : ”press”, sebagai sebutan untuk alat cetak.[12] Istilah pers telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu jenis media massa (media komunikasi massa). Banyak orang-orang menyebutnya dengan “mass media” (bahasa Inggris) yang mestinya disebut “media massa” (bahasa Indonesia). Biasa pula digunakan istilah media massa cetak, disingkat menjadi media cetak (printed media).[13]

Media massa adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication) dalam arti, media merupkan seluruh atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antara manusia.[14]

Keberadaan pers pada umumnya adalah sebagai media penghimpit atau penekan dalam masyarakat. Makna lebih tegasnya adalah dalam fungsinya sebagai kontrol sosial, disini yang juaga tidak jarang menjadi sebuah penekan terhadap kebijakan tertentu yang dinilai tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh pihak yang seharusnya secara lurus dapat menjalankannya.

Pengertian pers (press) sebagaimana disebut dalam Black’s Law Dictionary adalah sebagai berikut :

The aggregate of publications issuing fron the press, or the giving publicity to one’s sentimens and opinion through the medium of printing; as in the pharase “Liberty of the press” freedom of the press in guaronteed by the first amandement.

Menurut Oemar Seno Adji pers dibagi menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu :

1) Dalam arti sempit : mengandung pengertian penyiaran-penyiaran fikiran, gagasan ataupun berita-berita dengan jalan kata tertulis.

2) Dalam arti luas : memasukkan di dalamnya semua mediaa mass comuications yang memancarkan fikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kta tertulis maupun dengan kata-kata lisan.[15]



Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan :

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.



Persuahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atua menyalurkan informasi.



Di dalam pengertian luas seperti pers mencakup semua media komunikasi massa , seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain.[16] Sedangkan dalam pengertian sempit atau terbatas, pers adalah media cetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah dan buletin.

Pers yang dimaksud dalam makalah ini adalah pengertian sempit atau terbatas, yaitu media tercetaj di atas kertas atau media cetak. Dalam kaitan ini, fungsi utama dari pers pada umunya di samping sebagai informasi baik bagi semua warga masyarkat maupun dengan pemerintah secara timbal balik.



b. Subyek Hukum Dalam Delik Pers

Pelaku perbuatan pidana pada prinsipnya adalah orang (natural persoon), dalam perkembangan hukum diperluas yang disebut dengan korporasi. Korporasi trdiri dari beberapa orang, tetapi orang-orang tersebut tidak ditempatkan sebagai individu, melainkan dalam kesatuannya yang terorganisasi dalam wadah badan hukum. Korporasi sebagai subyek hukum hanya karena adanya hukum yang menetapkannya sebgai subyek hukum (Judical Person).

Adanya subyek hukum korporasi ini telah memerluas asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Pada mulanya hanya dikenal asas “ Siapa yang berbuat, maka ia yang bertanggungjawab” untuk subyek hukum orang, kemudian diperluas menjadi asas “Siapa yang bertanggungjawab, maka ia yang berbuat”.

Menurut Mudzakkir yang dikutip dari Rifqi Sjarief Assegaf dalam menetapkan siapa yang bertanggung jawab terhadap isi berita yang dimuat di media yang melanggar hukum adalah redaksi, karena redaksilah yang menurut organisasi pers sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap isi berita yang dimuat dalam media yang dipimpinnya.[17] Hal ini terlihat pada Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 :

Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, khususnya untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.



Atas dasar ketentuan tersebut, merupakan kewajiban hukum bagi media cetak memuat kolom nama, alamat dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan. Atas dasar ketentuan tersebut dan sesuai dengan kebiasaan dalam menjalankan profesi di bidang pers (masyarakat pers) bahwa yang bertanggung jawab adalah redaksi.

c. Pertanggungjawaban Pers Dalam Hukum Pidana

Fungsi pers tercantum dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999, yaitu :

Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,pendidikan,hiburan dan kontrol sosial.

Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat sebagai lembaga ekonomi.

Berdasarkan fungsi pers tersebut, terlihat begitu berat dan luasnya tanggungjawab pers. Dalam kinerjanya sering muncul permasalahan terkait dengan posisi pers yang berhadapan dengan pemerintah. Apa yang dikemukakan oleh pers seringkali dinilai tidak sejalan dengan yang dikehendaki pemerintah.

Sementara interaksinya dengan masyarakat, pers tidak jarang menurunkan sajian yang dinilai tidak sesuai dengan fakta serta melanggar hak pribadi (privacy) seseorang yaitu dengan kesengajaan menuduh suatu hal pada seseorang atau institusi tanpa didasari bukti yang kuat, pemberitaan memutarbalikkan, mencampuradukakan fakta dan opini, menyimpulkan kasus seseorang yang belum ada keputusan hukum yang tetap dan tidak mendasar pada fakta atau alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga berakibat pencemaran nama baik bahkan fitnah.

Mengenai pertanggungjawban pers dalam hukum pidana didasarkan pada ajaran kesalahan (Schuldleer)dan asas “penyertaan” (deelneming). Asas penyertaan ini yang menjadi landasan untuk mempertanggungjawabkan pidana terhadap wartawan, redaksi ataupun penulisnya sendiri.

Deelneming dipermasalahkan dalam hukum pidana karena berdasarkan sering suatu delik dilakukan bersama oleh beberapa orang. Jika hanya satu orang yang melakukan suatu delik, pelakunya disebut allen dader.[18] Kata deelneming berasal dari kata deelnemen (Belanda) yang diterjemahkan dengan kata “menyertai” dan deelneming diartikan “penyertaan”.

Deelneming diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 berbunyi : Ayat (1) Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana :

Ke-1 mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta dalam perbuatan;

Ke-2 mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.



Ayat (2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.



Pasal 56 berbunyi :

Sebagai pembantu kejahatan dihukum :

1. Mereka yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan dilakukan

2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.



Berdasarkan rumusan Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP tersebut, terdapat 5 (lima) peranan pelaku, yaitu :

1). Orang yang melakukan (dader or doer); Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana. “Pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai atau dihargai sendiri-sendiri atas segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan, dimana masing-masing pihak berdiri sendiri dan masing-masing pihak memenuhi seluruh unsur”.[19]

2). Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger); dalam bentuk menyuruh-malakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain. “Pada prinsipnya, Orang yang mau disuruh melakukan tindak pidana adalah orang-orang tidak normal, yaitu anak-anak dan orang gila. Namun, menurut doktrin, orang yang berada dibawah ancaman atau kekerasan (ada dasar pengahapus pidana) juga masuk dalam golongan tidak normal. Yang bisa dipidana hanyalah orang yang menyuruh , karena yang mempunyai niat adalah orang yang menyuruh; walaupun yang memenuhi unsur adalah orang yang disuruh”. Jadi, walaupun ada dua pihak yang menyebabkan terjadinya delik,yang dimintai pertanggungjawaban adalah yang menyuruh.[20]

3). Orang yang turut melakukan (mededader); Menurut P.A.F. Laminating orang yang turut melakukan (mededader) adalah “seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakuka tindak pidana yang diinginkan”.[21] Pihak yang terlibat adalah satu pihak, yang dapat terdiri dari banyak orang, niat dimiliki semua oarang dalam pihak tersebut, yang memenuhi unsur, pendapat pertama menyatakan cukup salah satu orang saja yang memenuhi unsur lalu semuanya dianggap memenuhi unsur pula. Pendapat kedua menyatakan tindakan berbeda yang dilakukan orang-orang itu jika digabungkan menjadi memenuhi unsur. Pertanggungjawaban pidana dipegang oleh semuanya. Hal ini dikarenakan kerjasama yang dilakukan bersama-sama secara sadar dan kerjasama fisik.

4) Orang yang sengaja membujuk (uitlokker); Menurut H.A.K. Moch. Anwar, Penggerakan[22] adalah :

Setiap perbuatan menggerakan atau membujuk orang lain untuk melakukan sesuatu yang perbuatan yang dilarang atau diancam dengan hukuman;

Dalam membujuk itu haud digunakan cara-cara atau daya upaya sebagaimana dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Dengan demikian di dalam uitlokking setidaknya ada dua pihak, yaitu pihak yang membujuk dan phak yang terbujuk, dimana pihak yang membujuk melakukan penggerakan dengan cara-cara yang telah ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP untuk melakukan sesuatu perbuatan yang melawan hukum.

5) Orang yang membantu melakukan (medeplichtige); “Pada pembantuan pihak yang melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatanyang akan ia bantu. Niat dari pelaku pembantuan adalah memberikan bantuan untuk melakukan kejahatan kepada pelaku. Tanpa adanya pembantuan tersebut, kejahatan tetap akan terlakasana. Pertanggungjawaban pidana pembantu hanya sebatas pada kejahatan yang dibantunya saja”.[23]

Kaitan ajaran “penyertaan” dengan delik pers bisa dilihat dari proses pembuatan berita yang melibatkan berbagai pihak. Pada umumnya proses tersebut dimulai dari rapat redaksi pada pagi hari yang membahas isu apa yang actual hari itu. Pada rapat ini juga pemimpin redaksi memerintahkan redaktur pel;aksana mencari informasi tambahan darri informasi yang disiarkan pada hari sebelumnya. Sesudah rapat pagi selesai, maka redaktur pelaksana memerintahkan para wartawan menyebar untuk mencari nformasi. Pada sore hari diadakan lagi rapat redaksi yang membahas informasi apa saja yang sudah didapatkan. Pada rapat sore tersebut, redaksi telah menerima segala informasi yang akan diterbitkan keesokkan harinya.

Redaksi yang telah menerima segala informasi tersebut, redaksi menyerahkan ke redaktur untuk mengedit informasi. Kemudian informasi yang sudah diedit diserahkan ke redaktur bahasa. Keseluruhan informasi yang dikumpulkan diseleksi oleh pemimpin redaksi. Informasi yang telah diseleksi kmudian diserahkan kepada redaktur halaman untuk ditentukan penempatan halamannya sesuai format pada surat kabar tersebut. Delik pers terjadi setelah berita tersebut sudah dipublikasikan dan mulailah pertanggungjawaban atas sajian pers tersebut.

Dalam menetapkan ada atau tidaknya pertanggungjawaban pidana dari redaksi harus memenuhi dua (2) persyaratan berikut :

Bahwa ia (redaksi) mengetahui, waktu tulisan (gambar) yang bersangkutan masuk untuk dimuat dalam surat kabar(tabloid/majalah);

Bahwa ia (redaksi) sadar akan sifat pidana dari tulisan (gambar) tersebut. Untuk menentukan ada atau tidaknya nilai kesadaran pelaku dapat ditentukan dari tingakt integritas, edukasi ataupun kemampuan keahlian penilaian tehadap tulisan atau gambar yang disiatkan tersebut.[24]



Selain didasarkan pada ajaran penyertaan dan ajaran kesalahan, tanggung jawab piadana pers juga didasarkan pada sistem pertanggungjawaban khas dari pers, yaitu :

1) stair system (system bertangga)

Stair system biasa pula disebut fiksi pertanggungjawaban redaksi. Artinya pertanggungjawaban yang dipikul oleh Pemimpin Redaksi (Pemred) adalah fiktif karena yang melakukan perbuatan (delik pers) bukan dia melainka orang lain(wartawan), tetapi ia yang harus bertanggungjawba. System bertangga dapat menyebabkan wartwan kurang hati-hati dlam menjalankan tugas, karena apabila ia melakukan delik pers maka bukan dia yang wajib bertangungjawab.[25]

2) Waterfall system (system air terjun)

Dalam system air terjun Pemimpin Redaksi dapat mengalihkan tanggung jawab hukum kepada anggota redaksi yang lain dan seterusnya hingga kepada wartawan yang mungkin memang adalah pelaku delik pers (penulis yang sebenarnya). System air terjun dapat menyebabkan wartawan bawahan lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya agar tidak mudah terjebak dalam delik pers.[26]

3. Pengertian Pemberitaan

Dalam bahasa inggris disebut “news”, berasal dari bahasa latin yaitu “novum”, “nova” artinya baru. Sedangkan menurut kamus besar bahasa indonesia , kata “pemberitaan” berasal dari kata “berita” artinya 1) cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat, kabar. 2) laporan. 3) pemberitahuan, pengumuman. Namun apabila kata “berita” ditambahkan awalan “pe” dan akhiran “an” maka ia akan berubah menjadi kata “pemberitaan” yang mengandung arti 1) proses, perbuatan, cara. 2) perkabaran, maklumat.[27]

Berita dalam arti teknis jurnalistik adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa yang dipilih oleh staf redaksi suatu media untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa, entah karena pentingnya atau akibatnya, entah pula karena ia mencakup segi-segi humon interest seperti humor, emosi dan ketenangan.

Berita adalah “laporan tentang gagasan, kejadian atau konflik yang baru terjadi , yang menarik bagi konsumen berita dan menguntungkan bagi pembuat berita itu sendiri atau berita ialah laporan tentang ide, kejadian atau situasi yang menarik bagi konsumen berita dan memberi keuntungan kepada pemilik surat kabar, majalah, stasiun radio atau komunikasi massa lainnya atau berita ialah segala sesuatu yang pada waktu tertentu menarik hati sejumlah orang dan berita yang paling baik adalah yang paling menarik bagi paling banyak orang (pembaca atau pendengar)”[28]





4. Pemberitaan Yang Merugikan Nama baik

Dalam delik penghinaan yang dilindungi adalah “kehormatan atau nama baik orang”. Suatu kewajiban bagi setiap orang untuk menghormati orang lain dari sudut rasa hormatnya (kehormatan) dan nama baiknya (penilaian dari sudut intergritas moral) di mata orang lain, meskipun orang itu telah melakukan kejahatan yang berat sekalipun. Kehormatan seseorang menjadi persoalan hak asasi manusia sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 ke-1 Undang- Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Yang Berbunyi :

Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugerah- nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.



Nama baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang tindak tanduk (perilaku atau kepribadian) seseorang dari sudut moralnya, nama baik seseorang selalu dilihat dari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga ukurannya ditentukan berdasarkan penilaian secara umum berdasarkan dalam suatu masyarakat tertentu ditempat dimana perbuatan tersebut dilakukan dalam konteks perbuatannya.[29]

Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tapi kedua- duanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantaranya kehormatan atau nama baik sudah cukup menjadikan alasan untuk menuduh seseorang yang telah melakukan penghinaan.

“Hormat” dalam kamus besar bahasa indonesia artinya menghargai ( takzim, khidmat ), perbuatan yang menandakan rasa khidmat atau takzim ( seperti menyembah atau menunduk ). Sedangkan “kehormatan” artinya adalah 1). Pernyataan hormat, penghargaan ; 2). Yang dihormati, tempat kita menaruh hormat; 3). Kebesaran, kemuliaan ; 4). Nama baik, harga diri.[30]

Pengertian kehormatan ( khususnya nama baik ), ini ada beberapa pendapat yaitu:

De subjectieve opvatting;

De subjectieve opvatting, menyamakan perkataan “kehormatan” dengan “rasa kehormatan”. Pendapat ini tidak dipakai lagi mengingat beberapa alasan, antara lain:

Apabila pendapat ini dijadikan ukuran untuk mengkualifisir apakah kehormatan seseorang tersinggung atau tidak, maka dalam penerapanya akan sulit jika dihadapi ialah orang orang “rasa kehormatannya” tebal (overgevolig)atau orang yang kurang atau yang sama sekali tidak mempunyai rasa kehormatan.

Dengan menganut pandangan subyekti, maka hak untuk mengadakan kritik yang agak bebas menjadi berkurang.

Bahwa dengan menganut pandangan ini, sebetulnya kita telah melepaskan “de jurisdiche begrifsbepalingen” dan memasuki bidang “psychologhich”.

2) De objectieve opvatting; pendapat ini kita bisa melihat dari dua pandangan, yaitu :

pandangan yang membatasi diri pada pengakuan nilai nilai “zedelijk” dari manusia .

pandangan yang hendak memperluas, yaitu tidak membatasi diri pada pengakuan nilai nilai zedelijk dari manusia, tetapi memperluasnya dengan semua faktor yang dapat digunakan sebagai pegangan oleh manusia.

Pandangan objektif yang terbatas pada pengakuan daripada nilai nilai “zedelijk” dari manusia dikemukakan oleh simons berhubung dengan perkembangan ilmu hukum dan yurisperudensi, maka pada umunya yang sekarang diikuti adalah pandangan obyektif yang tidak membatasi diri pada pengakuan “zedelijk” daripada manusia, melainkan mengakui semua faktor dan semua nilai yang ada pada manusia.[31]



Setiap orang memiliki hak untuk diperlukan sebagai anggota masyarakat yang dihormati. Menyerang kehormatan berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang kehormatan seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut lingkungan masyarakat dimana perbuatan itu dilakukan.

R. Seosilo menerangkan yang di maksud dangan “menghina” yaitu “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Yang di serang itu merasa “malu”. “kehormatan”yang diserang ini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan kehormatan lapangan seksuil”.[32]

Menurut Mv. T, penyerangan kehormatan atau nama baik dapat berbentuk:

Menuduh melakukan suatu perbuatan yang tidak terhormat(outeerende feiten) yang tanpa mengunakan kata kata menyakitkan (krenkende woorden of uit drukking) disebut penghinaan materiil.

Penghinaan berupa kata- kata yang menyakitkan (krenkende woorden) atau perbuatan (feiteliyk heden) disebut penghinaan formil.[33]



Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa nama baik adalah kehormatan yang di berikan masyarakat kepada seseorang, yang biasa nya di hubungkan dengan kedudukannya di dalam masyarakat. Artinya kehormatan yang di berikan masyarakat kepada orang memiliki kedudukan tinggi sedangkan kehormatan adalah perasaan pribadi atas harga diri.

Perbuatan melawan hukum diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar hak kadah-kaedah tertulis yaitu perbutan yang bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku dan melanggar hak subyektif orang lain, tapi juga perbuatan yang melanggar kaedah yang tidak tertulis.

Suatu yang melawan hukum dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur adanya :

Perbuatan baik aktif maupun pasif

Melawan hukum

Menimbulkan kerugian pada orang lain.

Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

Dikatakan sebagai melawan hukum apabila perbuatan tersebut :

Melanggar hak subyektf orang lain, berarti melanggar wewenang khusus yang di berikan oleh hukum kepada seseorang . Yurisprudensi memberi hak subyektif sebagai berikut :

Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik.

Hak-hak atas harta kekayaan, hak kebendaan dan hak mutlak lainnya. [34]

Suatu pelanggaran terhadap hak subyektif orang lain merupakan perbuatan melawan hukum apabila perbutan itu secara langsung melanggar hak subyektif orang lain, dan menurut pandangan dewasa ini diisyaratkan adanya pelanggaran terhadap tingkah laku berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis yang tidak seharusnya tidak dilanggar oleh pelaku dan tidak ada alasan pembenar menurut hukum

Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku. Kewajiban hukum di artikan sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis( termasuk dalam arti ini dalah perbuatan pudidanpencuria, pengelapan, penipuan, dan pengerusakan).[35]

Bertentangan dengan kesusilaan, yaitu bertentangan dengan norma-norma moral.


BAB II

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN



Pertanggungjawaban Pers Terhadap Pemberitaan Yang Merugikan Nama

Baik Orang Lain Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana

Dari segi sumber hukum, hukum pidana indonesia memiliki beberapa sumber yang pada garis besarnya dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu sumber hukum pidana yang terdapat diluar kuhp. Termasuk kedalam kelompok yang kedua ini adalah peraturan perundang- undangan lain.










UU PIDANA


















UU lain di luar KUHP

















Memperhatikan skema diatas, kedudukan uu pers berada pada kelompok uu lain- non pidana, karena uu pers memang bukan undang-undang yang secara khusus dibuat mengatur suatu perbuatan pidana tertentu. UU Pers adalah undang-undang non pidana yang memiliki sanksi pidana atas pelanggarannya.

UU No . 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan suatu undang-undang yang mengatur mengenai kehidupan pers secara khusus, sehingga uu pers layak disebut sebagai undang-undang khusus. Namun bukan berarti secara otomatis dapat mengecualikan apa yang telah diatur oleh KUHP. Sebab apa yang diatur dalam UU Pers adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang diatur dalam KUHP.

Jika merujuk pada alinea terakhir dari penjelasan Pasal 12 UU No . 40 Tahun 1999 tentang Pers, dimana terdapat kalimat “sepanjang menyangkut pertanggung jawaban pidana menganut ketentuan perundang- undangan yang berlaku”. Maka dapat disimpulkan bahwa jika terdapat delik yang menuntut suatu pertanggung jawaban pidana terhadap pers, maka bukanlah UU pers yang digunakan, melainkan ketentuan perundang- undangan yang lain, dimana dalam hal ini salah satunya adalah KUHP.

Lebih lengkapnya, penjelasan Pasal 12 tersebut adalah:

Pengumuman secara terbuka dengan cara:

Media cetak memuat kolom nama, alamat, dan penanggung jawabnya penerbitan serta nama dan alamat percetakan;

Media elektronik menyiarkan nama, alamat dan penanggungjawabnya pada awal atau akhir setiap siaran karya jurnalistik;

Media lainnya menyesuaikan dengan bentuk, sifat dan karakter media yang bersangkutan.



Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan. yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.



Berdasarkan penjelasan pasal 12 di atas, menyatakan bahwa uu pers memang tidak mengatur mengenai ketentuan pidana bagi pihak pers yang melakukan tindak pidana pemberitaan bohong, pencemaran nama baik, fitnah serta penyerangan kehormatan seseorang. Pasal 18 UU Pers terutama pada Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) sama sekali tidak mengatur hal tersebut.

Sehingga dengan demikian, maka haruslah dicari ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana sekaligus aturan pemindanaan bagi seseorang yang melakukan tindak pidana pemberitaan bohong, pencemaran nama baik, fitnah serta penyerangan kehormatan seseorang. Hanya KUHP dan uu no.1 tahun 1946 yang mengatur mengenai hal tersebut, karena pasal XIV dan XV UU no. 1 Tahun 1946 serta Pasal 310 dan 311 KUHP yang mengatur mengenai tindak pidana serta aturan pemidanaan bagi seseorang yang melakukan tindak pidana pemberitaan bohong, pencemaran nama baik, fitnah serta penyerangan kehormatan seseorang . Ditambah lagi ketentuan peralihan, ketentuan penutup dan penjelasan dari uu pers tidak mencabut ketentuan KUHP dan UU No. 1 Tahun 1946.

UU No.1 Tahun 1945 dan Pasal 310 dan 311 KUHP merupakan delik-delik umum. Artinya Pasal XIV dan XV No. 1 Tahun 1946 dan pasal 310 311 KUHP dapat saja didakwakan kepada siapa saja, tidak hanya kepada mereka yang berprofesi sebagai jurnalis.

Hal lain yang belum diakomodir di dalam uu pers adalah mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai delik pers yaitu perbuatan mana saja yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh insan pers (kejahatan pers).

Delik pers adalah delik yang dilakukan dengan pernyataan pikiran atau perasaan yang diancam pidana atau pernyataan pikiran atau perasaan yang dijatuhi pidana yang untuk penyelesaiannya memerlukan publikasi dengan menggunakan pers.

Menurut H.B. Vos yang dikutip dari risqi sjarief assegaf, menyatakan delik pers adalah :

Delik yang menyatakan dengan pernyataan pikiran dan perasaan melalui pers yang isinya memang dilarang dan pelakunya diancam pidana, sedangkan perbuatan itu telah terjadi pada saat media cetak yang terkait selesai dicetak (een drukpersdelict is er allen dan, wanner er is eeln op zizh zelf in haar in houd reeds voltooid zijndoor de publicatie).[36]



W.p.j pompe menyebutkan 3 kriteria yang harus dipenuhi agar suatu tindak pidana disebut sebagai delik pers(tindak pidana pers), yaitu :

Dilakukan dengan barang cetakan ;

Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan;

Adanya publikasi yang merupakan suatu syarat menumbuhkan kejahatan.[37]

Dari unsur-unsur diatas, unsur nomor tiga-lah yaitu “publikasi yang secara khusus mengangkat delik mendapat sebutan delik pers. Berita sebagai sajian pers itu berproses melalui tahapan-tahapan tertentu. Dari tahapan ini pula dapat dilihat dan selanjutnya dipilih sehingga akan menentukan kadar pertanggungjawaban dan siapa yang seharusnya mempertanggungjawabkan ketika terjadi permasalahan akibat berita yang telah disajikan.

Tahapan perjalanan suatu berita dari reporter sampai dengan tersaji dalam bentuk informasi tercetak antara lain sebagai berikut :

Event atau peristiwa sampai reporter.

Reporter memeriksa apakah event itu benar-benar fact. Jika bukan fact dibuang dan jika fact naik ke tahap berikutnya.

Reporter menimbang apakah fact itu ada new value nya. Apabila tidak dibuang dan apabila ada new valuenya terus naik ketahap IV.

Reporter menilai apakah fact yan ada new valuenya itu fit to print. Apabila tidak, simpan di arsip, apabila fit to print terus ketahap V.

Tahap ini, fact yang bernews value dan fit to print itu disusun untuk dimuat di surat kabar atau disiarkan oleh radio dan televisi.

Pada tahap ini fact bernew value fit to print yang sudah tersusun dicetak.

Pada tahap ini surat kabar didistribusikan.

Pada tahap terakhir ini surat kabar sampai ke tangan pembaca maka acara teknis jurnalistik event sudah jadi news (berita).[38]



Dalam hal ini meminta pertanggungjawaban atas sajian pers yang berakibat merugikan orang lain adalah pertanggung jawaban ketika sudah sampai pada tahap 8 (delapan) atau event sudah menjadi news (berita). Pada tahap ini pertanggungjawaban sudah bersifat eksternal dalam arti membawa pengaruh secara luas pada masyarakat. Disinilah mulainya tanggung jawab hukum atas sajian pers.

Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hak yang berlaku secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu, maka lahirlah pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban merupakan salah satu syarat untuk dapat menjatuhkan sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana.dengan kata lain pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang dapat mengadakan pemidanaan bagi subjek hukum yang secara objektif telah melakukan tindak pidana. Perbuatan yang secara objektif telah melakukan tindak pidana. Perbuatan yang secara objektif tercela itu, secara subjektif dipertanggung jawabkan kepadanya oleh karena sebab dari peraturan itu adalah dari pembuat tersebut.

Mempertanggungjawabkan perbuatannya yang tercela itu kepada pembuatnya, maka akan disimpulkan apakah pembuatnya yang tercela karenanya ataukah perbuatan tidak tercela. Dalam hal yang pertama maka pembuatnya tentu akan dipidana.jelaslah bahwa dalam hal ini dipidana atau tidaknya pembuat tidak semata-mata bergantung kepada apakah ada tindak pidana atau tidak, melainkan apakah terdakwa tercela atau tidak karena telah melakukan tindak pidana.

Dalam hal pertanggungjawaban pidana atas sajian pers didasarkan pada ajaran “penyertaan” dan ajaran “kesalahan”. Hal tersebut diperlakukan terhadap redaksi yang mengenai 2 persyaratan yaitu mengetahui sewaktu tulisan yang bersangkutan dimasukkan dan sadar akan sifat pidana dari tulisan.

“Penyertaan” diatur pada pasal 55 dan KUHP 56, berdasarkan pasal tersebut terdapat 5 (lima) peranan pelaku, yakni :

Orang yang melakukan;

Orang yang menyuruh melakukan;

Orang yang turut melakukan ;

Orang yang sengaja membujuk;

Orang yang membantu melakukan;

Sebagai ilustrasi, ajaran “penyertaan” dihubungkan dengan pertanggungjawaban pers (surat kabar harian kalimantan post di banjarmasin) adalah sebagai berikut :

Tugas dan tanggung jawab reporter/ koresponden adalah melakukan peliputan atas berita dilapangan. Peliputan berita dilapangan dilakukan atas dasar proyeksi/rencana kerja yang disampaikan pada malam hari sebelum reporter menyelesaikan tugas untuk hari itu. Rencana kerja dimaksudkan bisa berbentuk hunting news atau menghadiri suatu acara peliputan yang ditugaskan. Pos-pos tertentu, secara bergiliran dalam rentang waktu tertentu ditempati oleh para reporter untuk pemerataan dan penyegaran. Dihubungkan dengan 8 (delapan ) tahapan perjalanan suatu berita diatas maka tugas reporter adalah sampai dengan tahap 4 (empat).

Tugas dan tanggung jawab redaktur dengan dibantu asisten redaktur adalah memberi tugas sekaligus mengarahkan angle peliputan kepada reporter/koresponden sehingga suatu berita bisa obyektif dan tuntas terliput. Tanggung jawab redaktur sebagai pihak diatas reporter/koresponden untuk menilai suatu berita layak muat atau tidak. Kinerja redaktur boleh disebut tidak terlepas dari reporter/koresponden. Redaktur juga merupakan bagian dengan kinerja tertentu, terdiri dari redaktur kota , redaktur daerah, redaktur ekonomi, redaktur hukum, redaktur opini, dan redaktur umum. Dihubungkan dengan 8 (delapan) tahapan perjalanan suatu berita diatas maka tugas redaktur adalah pada tahap 5 (lima)

Redaktur pelaksana dengan dibantu asisten redaktur pelaksana bertugas menyerasikan berita- berita yang telah disusun redaktur dengan politik keredaksian. Redaktur pelaksana mengkoordinir para redaktur melalui rapat budget yang dilaksanakan sore hari. Juga bertanggung jawab atas efek berita yang sudah fit to print. Atau dihubungkan dengan (delapan) tahapan perjalanan suatu berita diatas maka posisi redaktur pelaksana bertanggung jawab pada tahap 6 (enam).

Tugas pokok pemimpin umum/redaksi menggariskan kebijakan dasar dan menjalin kerjasama dengan pihak luar pers khususnya menyangkut kelangsungan hidup pers. Pemimpin umum/redaksi menerima laporan budget yang dilaksanakan pada sore hari serta melakukan percobaan tertentu jika dianggap perlu. Perubahan ini dilakukan bukan pada nilai berita tetapi pada efek berita.[39]

Berdasarkan ilustrasi diatas diketahui bahwa pada tataran redaksional, pengelola pers terdiri dari : reporter/koresponden, redaktur pelaksana, dan pemimpin umum/redaksi (pemred). Reporter /koresponden adalah orang yang mencari, mengolah dan menulis berita yang didapat dilapangan. Redaktur/editor yaitu memperbaiki kata dan kalimat supaya lebih logis, mudah dipahami dan tidak rancu. Redaktur pelaksana adalah orang yang menyerasikan berita-berita yang telah disusun redaktur dengan politik keredaksian. Pemimpin redaksi mempunyai tugas memeriksa tulisan-tulisan yang telah tertata dibagian desain dan mengoreksinya, bahkan membatalkan tulisan bila dianggap perlu.

Dikaitkan dengan ilustrasi diatas, apabila ada suatu pemberitaan yang merugikan kehormatan dan nama baik orang lain dapat diperiksa dimana letak kesalahan tersebut. Dengan demikian kepada yang bersangkutan/ yang melakukan kesalahan mudah untuk dimintai pertanggungjawaban. Apabila dihubungkan dengan pasal 55 dan 56 tentang “penyertaan” mempermudah pengkualifikasian peranan pelaku, apakah mereka yang melakukan sendiri suatu perbuatan pidana (doenpleger), mereka turut serta/bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana(mededader), mereka yang sengaja membujuk orang lain melakukan tindak pidana (uitlokker), atau mereka yang membantu melakukan tindak pidana (medeplichtige).

Dalam hal adanya pemberitaan melalui media bukan merupakan produk secara individu melainkan munculnya sebuah pemberitaan senantiasa dilatar belakangi dan disertai dengan akibat yang kompleks. Untuk mengetahui peranan pelaku, berikut contoh :

Ahmad taufik menulis kebakaran tentang pasar tanah abang tanggal 19 februari 2003 dalam rubrik nasional majalah tempo karena pasar tanah abang adalah pasar yang beromzet besar. Kemudian diadakan rapat perencanaan yang dihadiri oleh Bambang Harymurti (pemimpin redaksi), Ahmad Taufik, Raden Wahyu Muryadi bertempat dikantor majalah tempo jalan proklamasi no. 72 menteng Jakarta Pusat. Pada rapat itu ahmad taufik mengusulkan untuk menindak lanjuti berita tentang kebakaran tanah abang kemudian usul Ahmad Taufik disetujui oleh peserta rapat termasuk Bambang Harymurti.

Selanjutnya Ahmad Taufik ditugaskan oleh raden wahyu muryadi untuk mencari sumber berita yang akan diwawancarai. Ahmad taufik kemudian menugaskan reporter Bernarda Rurit untuk diwawancarai Tomy Winata dan Indra Darmawan untuk mewawancarai H.P Lumbun selaku walikota Jakarta dianggap kedua orang tersebut banyak mengetahui permasalahan pasar tanah abang . Dari hasil wawancara tersebut, kedua tokoh belum mengetahui tentang tomy winata mengajukan proposal untuk renovasi pasar Tanah Abang.

Bahwa naskah tulisan ahmad taufik tersebut diedit oleh t.iskandar ali, dengan melakukan perubahan dari judul “ada tomy di tanah abang” menjadi “ada Tomy di ‘tenabang’?” . Dalam paragraf kedua menambah kata “pemulung besar” pada nama tomy winata adalah seorang pengusaha. Kemudian hasil edit tersebut diserahkan keredaktur bahasa untuk diperiksa tata bahasanya selanjutnya dilakukan rapat dami untuk penerbitan berita tersebut.

Bambang Harymurti sebagai pemimpin redaksi mempunyai tugas dan tanggung jawab diseluruh bidang keredaksian dan mempunyai hak untuk menentukan diturunkan atau tidaknya suatu berita. Pada rapat dami tersebut bambang harymurti menyetujui tulisan ahmad taufik yang sudah di edit oleh t. Iskandar ali tanpa meneliti kebenaran naskah berita tersebut.[40]



Berdasarkan contoh di atas Ahmad Taufik dipandang sebagai orang yang melakukan perbuatan pidana (dader or doer) karena yang menulis semua naskah berita adalah ahmad taufik yang bahan- bahannya diperoleh dari hasil wawancara reporter bernarda rurit, reporter indra darmawan dan reporter cahyo junaedi.t. Iskandar ali dan bambang harymurti dipandang sebagai orang yang membantu (medeplichtige) karena T. Iskandar Ali hanya mengedit naskah berita tanpa merubah berita dan bambang harymurti hanya sebatas memberi persetujuan agar berita dimuat dan dicetak tanpa meneliti kebenaran naskah berita itu.

Contoh di atas, terlihat kejelasan pihak yang bertanggung jawab atas dasar batas- batas perbuatan yang dilakukan (siapa yang bertanggung jawab atas apa). Kejelasan ini relevan dengan prinsip bahwa hendaknya seseorang hanya memikul resiko akibat yang diperbuatnya dan tidak memikul resiko akibat kesalahan orang lain. Dalam artian dapat dimintai pertanggung jawaban kepada pelaku sebenarnya.

Pada kenyataannya penetapan pertanggungjawaban terhadap perbuatan pidana yang berhubungan dengan pers didasarkan pada sistem organisasi pers itu sendiri. Jika ada pemberitaan suatu media pers dan pemberitaan tersebut dinilai telah mencemarkan kehormatan dan nama baik orang lain, maka yang bertanggung jawab adalah siapa secara organisatoris bertanggungjawab dibidang pemberitaan tersebut. Meskipun orang tersebut tidak berbuat( misalnya, menulis atau memeriksa), tetapi secara organisasi orang tersebut harus bertanggung jawab di bidang pemberitaan itu, maka ia ditetapkan sebagai pembuat terhadap perbuatan pidana tersebut.[41]

Secara organisatoris yang bertanggung jawab terhadap isi berita yang

Dimuat di media yang melanggar hukum adalah redaksi (pemimpin redaksi)[42], karena redaksilah yang menurut organisasi pers sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap isi berita yang dimuat di dalam media yang dipimpinnya.

Pemimpin redaksi sebagai orang yang bertanggung jawab akibat pemberitaan yang merugikan kehormatan dan nama baik orang lain terlihat dalam pengambilan putusan oleh hakim dalam kasus pemberitaan majalah tempo edisi 3-9 maret 2003 yang bertajuk “ada Tomy di tenabang?”.

Bambang Harymurti sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Tempo dijatuhi vonis 1 tahun penjara. Kemudian pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pada tingakt kasasi, MA menyatakan bahwa Bambang Harymurti tidak terbukti secara sah atas dakwaan primair, Pasal 311 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat(1) KUHP dan Susidair, Pasal 310 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, dan membebaskan Bambang Harymurti dari segala dakwaan.

Berdasarkan putusan di atas, yang menjadi alasan pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab terhadap berita yang dimuat didalam media adalah karena pemimpin redaksi adalah orang yang bertanggung jawab diseluruh bidang keredaksian dan mempunyai hak untuk menentukan diturunkan atau tidaknya suatu berita.

Pemimpin redaksi sebagai orang yang bertanggung jawab dalam hal pemberitaan yang merugikan kehormatan dan nama baik orang lain, sesuai dengan sistem pertanggungjawaban pidana dianut uu pers yaitu pertanggungjawaban dengan sistem bertangga (Stair System) yang menyatakan bahwa pemimpin redaksi harus bertanggung jawab terhadap sajian didalam pers. Stair system biasa pula disebut fiktif pertanggungjawaban karena yang melakukan perbuatan (delik pers) bukan dia melainkan orang lain, tetapi dia harus bertanggung jawab.

Sebelum adanya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sistem pertanggungjawaban pidana atas sajian pers diatur dalam pasal 15 ayat (4) UU No.21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang bunyinya sebagai berikut :

Pemimpin umum bertanggung jawab atas keseluruhan penerbitan baik ke dalam maupun keluar;

Pertanggungjawaban pemimpin umum terhadap hukum dapat dipindahkan kepada pemimpin redaksi mengenai isi penerbitan dan kepada pemimpin perusahaan mengenai soal-soal perusahaan;

Pemimpin redaksi bertanggungjawab atas pelaksanaan redaksionil dan wajib melayani hak jawab dan koreksi.

Pemimpin redaksi dapat memindahkan pertanggungjawabannya terhadap hukum, mengenai suatu tulisan kepada anggota redaksi atau kepada penulisnya yang bersangkutan.

Dalam mempertanggungjawabkan terhadap hukum, pemimpin umum, pemimpin redaksi, anggota redaksi atau penulisnya mempunyai hak tolak.

Wartawan yang karena pekerjaanya mempunyai kewajiban menyimpan rahasia, dalam hal ini nama, jabatan, alamat, atau identitas lainnya dari orang yang menjadi sumber informasi, mempunyai hak tolak.

Ketentuan-ketentuan hak tolak akan diatur oleh pemerintah, setelah mendengar pertimbangan-pertimbangan dari dewan pers.

Ketentuan ini memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban yang bisa dialihkan kepada anggota redaksi yang lain. Dimana pemimpin redaksi dapat mengalihkan tanggung jawab hukum kepada anggota redaksi yang lain atau kepada penulisnya yang memang mungkin pelaku delik pers. Sistem pertanggungjawaban pidana ini disebut pertanggung jawaban pidana dengan sistem air terjun (Waterfall System).

Berbeda dengan pertanggungjawaban pidana sistem air terjun (Waterfall System), pertanggungjawaban pidana sistem bertangga (Stair System) pemimpin redaksi harus bertanggungjawab terhadap tulisan(gambar) yang menyerang kehormatan dan nama baik orang lain.meskipun pemimpin redaksi tidak memenuhi 2(dua) hal pokok dalam penetapan ada atau tidaknya pertanggungjawaban pidana dari pemimpin redaksi sebagaimana yang dikemukakan Oemar Seno Adji, yaitu :

Bahwa ia (redaksi) mengetahui, waktu tulisan (gambar) yang bersangkutan masuk untuk dimuat dalam surat kabar (tabloid/majalah);

Bahwa ia (redaksi) sadar akan sifat pidana dari tulisan (gambar) tersebut. Untuk menentukan ada atau tidaknya nilai kesadaran pelaku dapat ditentukan dari tingkat intergritas, edukasi ataupun kemampuan keahlian penilaian terhadap tulisan atau gambar yang disiarkan tersebut.[43]



Merujuk pada 2 (dua) hal pokok diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, jika pemimpin redaksi tidak mengetahui masuknya tulisan (gambar) dan tidak menyadari sifat pidana dari tulisan (gambar) tersebut berarti redaksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Mengetahui saja tidak cukup, redaksi dituntut untuk membaca tulisan (gambar), jika pemimpin redaksi tidak membacanya tidaklah mungkin mengetahui dan menyadari isi tulisan (gambar), maka yang dimintai pertanggungjawaban pidana adalah redaktur yang membaca saja yang kemudian ada kesadaran akan sifat pidana, sedangkan redaktur yang tidak membaca tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena tidak mungkin ada kesadaran terhadap sifat pidana dari tulisan (gambar)tersebut tanpa membacanya, jika secara kebetulan semua dewan redaksi tidak mengetahui dan tidak membaca tulisan (gambar) yang dimuat pada media yang diterbitkannya, maka yang dimintai pertanggungjawaban adalah wartawan yang menulis suatu berita atau pegawai yang menggambar suatu gambar.

Menurut penulis 2(dua) hal pokok diatas hanya bisa diterapkan apabila pertanggungjawaban pidana akibat pemberitaan yang memuat pencemaran nama baik orang lain didasarkan pada sistem air terjun (waterfall system), karena prinsip ini membebankan pertanggungjawaban kepada pelaku sebenarnya

Pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab mempunyai hak prerogratif untuk menerbitkan atau tidak menerbitkan tulisan . Oleh karena itu, apabila ada konsekuensi hukum dari berita yang diterbitkan, maka pemimpin redaksi adalah penanggungjawabnya. Pemimpin redaksi sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap isi berita yang memuat dalam media yang dipimpinnya, didasarkan pada ketentuan pasal 12 UU Pers yang menyatakan:

Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, khususnya untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

Atas dasar ketentuan tersebut, merupakan kewajiban media cetak memuat kolom nama, alamat dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan. Sesuai dengan kebiasaan dalam menjalankan profesi dibidang pers (masyarakat pers) bahwa yang bertanggungjawab adalah pemimpin redaksi artinya pemimpin redaksi adalah orang yang bertanggung jawab di seluruh didang keredaksian dan mempunyai hak untuk menentukan diturunkan atau tidaknya suatu berita.

Tanggung jawab pidana atas sajian pers sebagaimana yang diatur dalam pasal 55 dan kuhp yaitu didasarkan atas ajaran ‘’penyertaan’’ dan ajaran ‘’kesalahan’’ tidak diterapkan, karena baik itu pertanggungjawaban pidana dengan sistem bertangga (Stair System) dan pertanggungjawaban pidana dengan sistem air terjun (Waterfall System) sama-sama menetapkan satu orang yang bertanggung jawab jika terjadi delik pers. Tetapi pertanggungjawabannya dan delik persnya ada pada KUHP (misalnya Pasal 310 ayat (2) KUHP). Sebagai contoh, pada kasus delik pers majalah Tempo Vs Tomy Winata yang diputus pengadilan negeri jakarta pusat, dimana pengadilan hanya menghukum bambang harymurti (pemimpin redaksi majalah Tempo) meskipun Jaksa Penuntut Umum menggunakan pasal 55 dan 56 KUHP.

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa pemimpin redaksi adalah orang yang bertanggungjawab jika pemberitaan yang merugikan nama baik orang lain. Menurut pemimpin redaksi sebagai orang yang bertanggung jawab bisa juga dikaitkan dengan pengertian delik pers itu sendiri, dimana salah satu unsur yang mengangkat adanya delik pers adalah ‘’publikasi’’, sebelum adanya publikasi terlebih dahulu diadakan rapat redaksi untuk menseleksi informasi apa saja yang akan diberitakan. Penyeleksian itu dilakukan oleh pemimpin redaksi. Dengan kata lain suatu berita itu baru bisa dipublikasikan jika ada persetujuan pemimpin redaksi. Adanya persetujuan pemberitaan, berarti adanya kesengajaan Pemimpin Redaksi untuk mempublikasikan suatu berita. Jika pemimpin redaksi menganggap berita itu tidak perlu dipublikasikan, meskipun suatu berita ada muatan pencemaran nama baik, maka berita itu belum disebut dengan delik pers. Dengan demikian jika terjadi suatu pemberitaan yang merugikan nama baik orang lain maka yang bertanggung jawab adalah pemimpinredaksi. Hal ini dikecualikan jika penulisan adalah penulisan luar. Dalam hal penulisan adalah penulisan luar, maka yang bertanggung jawab adalah penulisan yang bersangkutan. Sebagai contoh, pada kasus delik pers Besihar Lubis, Kolumnis Koran Tempo dalam tulisannya ‘’Kisah Interogator Yang Dungu’’ didakwakan dengan Pasal 207 Dan 316 Jo 310 KUHP.










BAB III

PENUTUP



KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Pertanggungjawaban pers terhadap pemberitaan yang merugikan nama baik orang lain sesuai dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat diterapkan pertanggungjawaban pidana dengan sistem bertangga (Stair System) yaitu Pemimin Redaksi bertanggungjawab atas pemberitaan yang dibuat oleh bawahannya atau wartawan. Hal ini bisa dihubungkan dengan beberapa putusan hakim yang menyatakan Pemimpin Redaksi bertanggung jawab terhadap materi pemberitaan, karena yang menentukan diterbitkan atau tidaknya suatu berita adalah Pemimpin Redaksi sebelumnya sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut adalah pertanggungjawaban pidana dengan sistem air terjun (Waterfall System) yaitu tanggung jawab pemimpin redaksi dapat dialihkan kepada redaktur lain atau kepada penulis yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam Pasal 15 Undang-undang Nomr 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.



SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapatlah disarankan sebagai berikut :

Demi mewujudkan kehidupan media massa Indonesa yang lebih baik dan berkualitas , kiranya disarankan agar dewan pers meningkatakan fungs dan perannya dalam mengatur kehidupan wartwan dan pemberitaan media massa dengan tetap mengedepankan tanggung jawab dan profesionalisme.

Diperlukan adanya revisi terhadap Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan memasukkan delk pers terhadap undang-undang tersebut.

Perlunya ditingkatkan pengawasan publik terhadap kinerja Pers di Indonesia.

Kebebasan pers yang bertanggungjawab harus diterapkan.


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Black’s Law Dictionary With Pronounciotions, Sixth Edition,1990, USA, St Paul

Minn, USA Publishing, Co.

Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila Jilid 4, 984, Yayasan Ciptaloka Caraka

Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 13, 1990, Cipta Adi Pustaka, Jakarta.

H. Assegaf, Djafar, 1993, Jurnalistik Masa Kini, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Hasan, Djuhaedah, 1993, Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Dalam Laporan Akhir Komdium Bidang Perbuatan Melawan

Hukum, Badam Hukum Nasional RI, Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-2, 1996, dDepartemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta.

Kanter, E.Y., dan S.R Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.

Lamintang, P.A.F., 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,

Bandung

Loqman, Loebby, 1995, Percobaan Penyertaan dan Gabungan tindak Pidana,

Universitas Tarumanegara, Jakarta.

Masduki, 2004, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII Pres,Yogyaakarta.

Marpaung , Leden, 2005, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,

Jakarta.

Moch. Anwar, H.A.K., 1981, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama

KUHP, Alumni, Bandung.

Muis, A.,1999, Jurnaistik Hukum Komunikasi Massa (Menjangkau Era

Cybercommunication Milenium Ketiga), PT. Dharu Anuttama.

Seno Adji, Oemar, 1997, Mass Media Dan Hukum, Erlangga, Jakarta.

----------------------, 1991, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia (Profesi

Wartawan), Erlangga, Jakarta.

Sianturi, S.R., 1989, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,

Alumni Ahaem-Patehaem, Jakarta

Wahidin, Samsul, 2005, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Banjarmasin.


B. Jurnal

Sjarief Assegaf, Rifqi, 2004, Pers Diadili, jurnal Kajian Putusan Pengadilan, Leip3,

Edisi 3.

Peraturan Perundanga-undangan

BPHN, Rancangan KUHP 2004

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Undang-undang Dasar Tahun 1945

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang Nomor 40 Tantang Pers

Website

Kejahatan Pers Dalam Perspektif Hukum dalm http://anggara.org/2006/11/07.

www.antikorupsi.org

www.freedom-pres.co.id/htm.

Tjipta Lesmana, Kebebasan dan Tanggung Jawab Pers Harus Berimbang,

www.sinarharapan.co.id/berita.



Dalam era globalisasi saat ini perkembangan komunikasi dan informasi berjalan sangat cepat, efisien dan mudah agar segala kebutuhan dapat segera terpenuhi. Globalisasi informasi dalam segala bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berkembang dengan baik karena cepatnya jaringan informasi.




[1] Tjipta Lesmana, Kebebasan dan Tanggung Jawab Pers Harus Berimbang,

www.sinarharapan.co.id/berita


[2] Tipta Lesmana, Ibid.


[3] A.Muis, 1999, Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa ( Menjangkau Era Cybercommunication Milenium Ketiga), PT. Dharu Anuttama, Jakarta, Hal. 126-127.


[4] Oemar Seno Adji,1991, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia (Profesi Wartawan),

Erlangga, Jakarta, Hal. 33.


[5] Ibid.


[6] Ibid., Hal. 29-30.


[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-2, 1996 , Departemen Pendidikan dan kebudayaan,

Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1006.


[8] E. Y Kanter dan SR. Sianturi, 2002 , Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya,

Storia Grafika, Jakarta, Hal.36.


[9] Ibid.


[10] Masduki, 2004, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII Press, Yogyakarta, Hal 7


[11] Ibid.


[12] Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 13,1990, Cipta Adi Pustaka, Jakarta, Hal. 118.


[13] A.Muis, Op. Cit., Hal. 56.


[14] Ibid.


[15] Oemar Seno Adji, 1997, Mass Media Hukum, Erlangga, Jakarta, Hal. 13.


[16] www,fredom-press.co.id/htm.


[17] Rifqi Sjarief Assegaf, 2004, Pers Diadili, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, Leip3, Edisi 3,

Hal. 35.


[18] Leden Marpaung, 2005, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Sinar grafika, Jakarta, Hal. 77.


[19] H.A.K Moch. Anwar, 1981, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku KUHP,

Alumni, Bandung, Hal. 39.


[20] S.R Sianturi, 1989, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni

Ahaem-Patehaem, Jakarta, Hal. 342.


[21] P.A.F Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, Hal.

588-589.


[22] H.A.K. Moch. Anwar, Op Cit., Hal. 32.


[23] Loeby Loqman, 1995, Percobaan Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Universitas

Tarumanegara, Jakarta, Hal. 80.


[24] Oemar Seno Adji, Op Cit., Hal. 26.


[25] Rifqi Sjarief Assegaf, Op Cit., Hal. 32.


[26] Ibid.


[27] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-2, Op Cit., Hal. 123-124.


[28] A.Muis, Op Cit., Hal. 26.


[29] Rifqi Sjarief Assegaf, Op Cit., Hal. 17.


[30] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-2, Op Cit., Hal. 357.


[31] Oemar Seno Adji, Op Cit., Hal. 41.


[32] R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, Hal. 225.


[33] www.antikorupsi.org


[34] Djuedah Hasan, 1997, Istilah dan Pengertian Perbuatan Melwan Hukum Dalam

Laporan Akhir Komdium Bidang Perbuatan Melawan Hukum,

Badan Pembinaan Hukum Nasional RI, Jakarta, Hal. 24.


[35] Ibid.


[36] Rifqi Sjarief Assegaf, Op Cit., Hal. 80.


[37] Kejahatan Pers Dalam Perspektif Hukum dalam http://anggara.org/2006/11/07.


[38] Samsul Wahidin, 2005, Hukum Pers, Pustaka Belajar, Banjarmasin, Hal. 133.


[39] Ibid., Hal. 136-137.


[40] www.antikorupsi.org, Loc.Cit.


[41] Rifqi Sjarief Assegaf, Op.Cit., Hal. 33.


[42] Ibid.


[43] Oemar Seno Adji, Op.Cit., Hal. 26.