Wellcome Friend

Blog Khusus buat teman-teman yang kuliah jurusan hukum

About Me

Foto saya
Yahh.. bisa di lihat di facebooklah.. cari aja berdasarkan email di atas..

Wellcome Student

Ilmu pengetahuan tidak mengenal usia

Hobi-ku

Hobi-ku
Hal yang mengasyikkan ketika berdiri di atas ombak

Soal Latihan Hukum Pidana Pers

A.     SOAL LATIHAN
1.      Jelaskan ruang lingkup delik pers?
2.      Kapan suatu perbuatan pidana masuk ke dalam klasifikasi delik pers?
3.      Jelaskan perbedaan delik pers dengan tindak pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP?
4.      Jelaskan apakah dalam delik pers berlaku azas lex specialis derogat legi lex generalis bila dibandingkan antara UU Pers dengan KUHP?
5.      Jelaskan teori-teori pertanggungjawaban dalam delik pers dan teori manakah yang biasanya menjadi rujukan hakim dalam mengadili delik pers?
B.     JAWABAN SOAL
1.      Sebelum mengetahui apa saja ruang lingkup delik pers, maka ada baiknya terlebih dahulu kita memahami definisi dari kata “Pers” tersebut. Pers Menurut Oemar Seno Adji dibagi menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu :
1)      Dalam arti sempit : mengandung pengertian penyiaran-penyiaran fikiran, gagasan ataupun berita-berita dengan jalan kata tertulis.
2)      Dalam Arti kata Luas : memasukkan di dalamnya semua media mass comunications yang memancarkan fikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan kata-kata lisan.

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan :
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komuniksi masssa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dala bentuk tulisan, suara, gambar, saura dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Jadi dari pengertian pers di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup delik pers adalah semua kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dala bentuk tulisan, suara, gambar, saura dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya yang menjadi delik yang diancam pidana/dijatuhi pidana yang untuk penyelesaiannya memerlukan publikasi dengan menggunakan pers.
Refrensi Jawaban :
  1. Oemar Seno Adji, 1997, Mass Media Hukum, Erlangga, Jakarta, Hal. 13.
  2. Rifqi Sjarief Assegaf, 2004, Pers Diadili, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan,
Leip3, Edisi 3. Hal. 80
2.      Suatu perbuatan pidana masuk ke dalam klasifikasi delik pers :
Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum. Suatu perbuatan pidana masuk ke dalam klasifikasi delik pers adalah ketika adanya publikasi yang merupakan suatu syarat menumbuhkan kejahatan. Publikasi inilah yang secara khusus mengangkat delik menjadi delik pers. Berita sebagai sajian pers itu berproses melalui tahapan tahapan tertentu. Dari tahapan ini pula dapat dilihat dan selanjutnya dipilih sehingga akan menentukan kadar pertanggungjawaban dan siapa yang seharusnya mempertanggungjawaban ketika terjadi permasalahan akibat berita yang telah disajikan.
Dan lebih lanjut lagi suatu perbuatan pidana itu masuk ke dalam klasifikasi delik pers adalah ketika suatu perbuatan itu dianggap kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan melalui pers
Refrensi Jawaban :
  1. Kejahatan Pers Dalam Perspektif Hukum dalam http://anggara.org/2006/11/07
  2. Rifqi Sjarief Assegaf, 2004, Pers Diadili, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan,
Leip3, Edisi 3. Hal. 80
3.      Perbedaan delik pers dengan tindak pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP adalah sebagai berikut :
  1. Delik Pers
1)      Dalam pengertian umum, delik pers adalah kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan melalui pers;
2)      Dalam pengertian menurut peraturan (yuridis) sebagaimana tercantum di dalam Reglement op de Drukswerken 1856, delik pers adalah kejahatan atau pelanggaran dengan mempergunakan barang cetak yang berupa melipat gandakan tulisan, hasil seni lukis dan teks musik yang dihasilkan oleh pekerjaan mesin atau bahan kimia ;
3)      Dalam pengertian yang dibatasi menurut para ahli hukum, dengan persyaratan:
a)      Berupa pernyataan pikiran atau pendapat orang;
b)      Dilakukan dengan melalui alat cetak atau pers;
c)      Dan harus adanya publikasi telah terjadi delik.
Pengertian delik pers menurut ahli hukum yang dibatasi dengan tiga persyaratan tersebut di atas membawa konsekwensi, bahwa apabila tidak memenuhi syarat pertama lebih dahulu dan kemudian syarat berikutnya  maka tidak termasuk golongan delik pers, sedangkan;
b.      Pencemaran Nama Baik Dalam KUHP
Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang, secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317 ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP
R. Soesilo menerangkan apa yang dimaksud dengan “menghina”, yaitu “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang biasanya merasa “malu”. “Kehormatan” yang diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil.1 Menurut R. Soesilo, penghinaan dalam KUHP ada 6 macam yaitu :
1.      menista secara lisan (smaad);
2.      menista dengan surat/tertulis (smaadschrift);
3.      memfitnah (laster);
4.      penghinaan ringan (eenvoudige belediging);
5.      mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht);
6.      tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)
Semua penghinaan di atas hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang menderita/dinista/dihina (delik aduan), kecuali bila penghinaan itu dilakukan terhadap seorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan pekerjaannya secara sah
Obyek dari penghinaan tersebut harus manusia perseorangan, maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan, segolongan penduduk dan lain-lain. Bila obyeknya bukan perseorangan, maka dikenakan pasal-pasal khusus seperti :  Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP (penghinaan pada Presiden atau Wakil Presiden) yang telah dihapuskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP (penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia).
Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, penghinaan yang dapat dipidana harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu”, dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzinah, dan sebagainya. Perbuatan tersebut cukup perbuatan biasa, yang sudah tentu merupakan perbuatan yang memalukan, misalnya menuduh bahwa seseorang telah berselingkuh. Dalam hal ini bukan perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi cukup memalukan bagi yang berkepentingan bila diumumkan. Tuduhan tersebut harus dilakukan dengan lisan, apabila dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka penghinaan itu dinamakan “menista/menghina dengan surat (secara tertulis)”, dan dapat dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Kemudian selanjutnya yang memebedakan antara delik pers dengan pencemaran nama baik adalah Pasal 310 dan 311 KUHP merupakan delik umum. Artinya Pasal 310 dan 311 KUHP dapat saja didakwakan kepada siapa saja, tidak hanya kepada mereka yang berprofesi sebagai jurnalis atau insan pers.
Refrensi Jawaban :
1.      Rifqi Sjarief Assegaf, 2004, Pers Diadili, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan,Leip3, Edisi 3. Hal. 80
2.      R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia – Bogor, 1996, hal. 225.

4.      Berlaku atau tidaknya azas lex specialis derogat legi lex generalis bila dibandingkan antara UU Pers dengan KUHP?
Dalam delik pers, UU No. 40 Tahun 1999 belum bisa diberlakukan sebagai Lex Specialis, karena undang-undang tersebut menurut ahli hukum Nono Anwar Makarim tidak memenuhi syarat formal maupun material tentang doktrin hukum khusus. Kecuali itu, masih begitu banyak delik pers yang belum diatur di dalam undang undang tersebut. UU No. 40 tahun 1999 hanya mengatur 3 delik pers, yaitu pelanggaran terhadap norma agama, norma susila dan asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1). Bagaimana dengan delik kabar bohong? Delik pencemaran nama? Delik membuka rahasia negara, dan sebagainya? Karena delik-delik tersebut belum diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999, tepatlah kalau hakim mencari peraturan perundang-undangan di luar UU No. 40 Tahun 1999, khususnya KUHP.
Dalam peradilan banding Tommy Winata lawan Koran Tempo, Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Jakarta mengemukakan bahwa “selain Undang-Undang tentang Pers (Undang-Undang No. 40 tahun 1999) tidak mengatur mekanisme atau hukum acara penyelesaian sengketa pers, adalah hak setiap orang in casu Tergugat Rekonpensi/Penggugat Konpensi/Terbanding untuk menuntu atau mempertahankan haknya dari orang lain (in casu Penggugat Rekonpensi/Tergugat I  Konpensi/Pembanding) dengan mengajukan gugatan perdata di depan pengadilan”. (Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 358/Pdt/2004/PT.DKI, hal. 12). Pertimbangan Majelis Hakim banding ini, secara implisit, sebetulnya merupakan pengakuan bahwa UU Pers belum dapat menyelesaikan setiap sengketa hukum yang ditimbulkan oleh pemberitaan pers dan oleh karena itu UU Pers belum bisa dikatakan sebuah Lex Specialis.
Zoeber Djajadi, S.H., Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili perkara Tommy Winata lawan Koran Tempo berpendapat bahwa “Dalam masalah pencemaran nama baik, Undang-Undang Pers bukanlah Lex Specialist. Sejak dulu saya selalu mengatakan itu. Pengamat pun bilang begitu!”
Jadi dalam delik pers, azas lex specialis derogate legi generalis tidak berlaku bila dibandingakan antara UU Pers dengan KUHP. Hal ini dikarenakan tidak memenuhi syarat formal maupun material tentang doktrin hukum khusus dan masih begitu banyak delik pers yang belum diatur di dalam UU Pers tersebut.


Refrensi Jawaban :
1.      Kompas, 6-5-2004, hal. 9 
2.      (Amir Syamsuddin, Kompas, 18-9-2004, hal. 4; Lesmana, Pilars,
No. 11 Thn VII). 
3.      (Majalah Tempo, No. 48/XXXII/26 Januari – 01 Februari 2004). 
4.      www.antikorupsi.org

5.      Teori-teori pertanggungjawaban dalam delik pers dan teori yang menjadi rujukan hakim dalam mengadili delik pers
a.      Teori pertanggungjawaban dalam delik pers
1)   stair system (system bertangga)
Stair system biasa pula disebut fiksi pertanggungjawaban redaksi. Artinya pertanggungjawaban yang dipikul oleh Pemimpin Redaksi (Pemred) adalah fiktif karena yang melakukan perbuatan (delik pers) bukan dia melainka orang lain(wartawan), tetapi ia yang harus bertanggungjawba. System bertangga dapat menyebabkan wartwan kurang hati-hati dlam menjalankan tugas, karena apabila ia melakukan delik pers maka bukan dia yang wajib bertangungjawab.
2)   Waterfall system (system air terjun)
Dalam system air terjun Pemimpin Redaksi dapat mengalihkan tanggung jawab hukum kepada anggota redaksi yang lain dan seterusnya hingga kepada wartawan yang mungkin memang adalah pelaku delik per(penulis yang sebenarnya). System air terjun dapat menyebabkan wartawan bawahan lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya agar tidak mudah terjebak dalam delik pers.
b.      Teori yang menjadi rujukan hakim dalam mengadili delik pers
Pertanggungjawaban pers terhadap pemberitaan yang merugikan nama baik orang lain sesuai dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat diterapkan pertanggungjawaban pidana dengan sistem bertangga (Stair System) yaitu Pemimin Redaksi bertanggungjawab atas pemberitaan yang dibuat oleh bawahannya atau wartawan. Hal ini bisa dihubungkan dengan beberapa putusan hakim yang menyatakan Pemimpin Redaksi bertanggung jawab  terhadap materi pemberitaan, karena yang menentukan diterbitkan atau tidaknya suatu berita adalah Pemimpin Redaksi sebelumnya sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut adalah pertanggungjawaban pidana dengan sistem air terjun (Waterfall System) yaitu tanggung jawab pemimpin redaksi dapat dialihkan kepada redaktur lain atau kepada penulis yang bersangkutan.  Hal ini diatur dalam Pasal 15 Undang-undang Nomr 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Refrensi Jawaban :
1.      Samsul Wahidin, 2005, Hukum Pers, Pustaka Pelajar,Banjarmasin, Hal. 139.
2.      Rifqi Sjarief Assegaf, 2004, Pers Diadili, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan,Leip3, Edisi 3. Hal. 32