Wellcome Friend

Blog Khusus buat teman-teman yang kuliah jurusan hukum

About Me

Foto saya
Yahh.. bisa di lihat di facebooklah.. cari aja berdasarkan email di atas..

Wellcome Student

Ilmu pengetahuan tidak mengenal usia

Hobi-ku

Hobi-ku
Hal yang mengasyikkan ketika berdiri di atas ombak

Kamis, 20 Januari 2011

Tugas Belajar Hukum: Makalah Pidana Pers

Tugas Belajar Hukum: Makalah Pidana Pers

Makalah Pidana Pers

BAB I

PENDAHULUAN



Latar Belakang



Pers merupakan institusi yang memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan opini publik dan efektif penyebarluasan informasi. Dibanding mekanisme penyebaran informasi lainnya, seperi seminar, lokakarya, penataran, rapat umum dan sebagainya. Pers memiliki potensi menjangkau audien jauh lebih banyak dan menyebarkan informasi ke lingkungan yang lebih jauh, lebih luas dalam waktu relatif yang singkat.

Pers sebagai media informasi merupakan pilar ke-empat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya kesimbangan dalam suatau negara. Berbicara mengenai pers maka tidak akan lepas berbicara mengenai kebebasan pers, karena kebebasan pers merupakan bagian penting atau ruh hidup matinya pers. Kebebasan pers yang bertanggung jawab merupakan prasyarat utama bagi sebuah negara dalam memperjuangkan kemajuan bangsa dan rakyatnya. Ini menjadi keniscayaan dalam masyarakat yang demokratis.

Kebebasan pers seperti ini sangat perlu dan penting, bukan hanya bagi para pekerja pers, tetapi juga bagi seluruh rakyat danb bangsa. Tanpa kebebasan pers, mustahil jurnalis atau pers akan mampu menjalankan tugas/peran sosialnya dengan baik dan optimal.

Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yaitu diatur dalam Pasal 28 yang berbunyi :

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan dan sebagainya ditetapkan Undang-undang



Pers yang meliputi media cetak dan media elektronik dan media lainnya, merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan tersebut.

Kebebasan pers kadang kebablasan karena berita atau tayangan yang diekspose mediacetak/elektronik telah menyimpang dari koridor hukum,budaya dan agama. Dimana jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) sebagai unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana.

Jika terjadi demikian, apakah insan pers dibiarkan saja dengan alasan di bawah tekanan waktu atau kebebasan pers yang dijami kebebasannya akan terkekang. Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan tau fitnah dengan menggunakan pers sebagai media. Seperti Tjipta Lesmana menyatakan bahwa : “ Print it, and be damned! Itulah salah satu prinsip kerja jurnalis. Yang penting, beritakan dulu! Urusan lain, belakangan. Wartawan yang yang nulis ngawur atau dengan sikap reckless disregard, bukan saja harus dijewer, tetapi juga diukum keras”. Lebih lanjut menurutnya “kebebasan pers Indoesia sesungguhnya sudah kebablasan, suasananya mirip pada periode tidak lama setelah jatuhnya Orde Lama di awal tahun 1966, ketika itu pers seakan tidak mengenal batasan apapun, sehingga mereka menganggap bebas memberitakan apa saja yang dinilainya fits to print”.[1]

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (untuk selanjutnya disebut dengan “UU Pers”) telah mengatur proses penyelesaian sengketa pers berkaitan dengan materi pemberitaan, sebagaimana disebutjkan dalam Pasal5 ayat (2) menyatakan :

“Pers wajib Melayani hak jawab”.

Masyarakat sering merasa dirugikan oleh karena hak jawab itu tidak mendapatkan tempat yang proporsional dalam pandangan masyarakat. Hak jawab itu leih sering dilaksanakan hanya sebagai kewajiban saja, namun tidak memperhatikan akibat yang telah ditimbulkan dari pemberitaan sebelumnya. Seperti yang dikemukakan oleh Tjipta Lesmana : “ Banyak wartawan yang beranggapan kalau ada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan, silahkan gunakan hak jawab. Jika pers sudah memuat bantahan atau koreksian,masalahpun diangggap selesai. Jika masih juga tidak puas, silahkan lapor ke Dewan Pers”[2]. Dari uraian tersebut terlihat begitu gampang begitu delik pers diselesaikan. Siapapun tahu bahwa pemuatan bantahan dama sekali tidak mengurangi rasa malu dan kerusakan martabat yang dialamai korban dalam kasus penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik.

Pemberitaan pers cukup tajam bagi pembaca, jika suatu pesan, opini, pendapat, kritik dan sebagainya sudah masuk pers bukan main tajamnya. Faktor kepercayaan pembaca atau penonton atau pendengar dikarenakan adanya sifat ingin tahu,couriousty makhluk sosial, akibat adanya kebutuhan komunikasi. Opini publik bisa langsung mendukung berita pers (yang menghujat).[3]

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sendiri belum mengakomodir mengenai permasalahan tersebut yaitu pencemaran kehormatan dan nama baik. Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah serta masalah pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 ayat (2) UU Pers). Sementara itu, selebihnya UU Pers hanya mengatur mengenai hak jawabdan hak koreksi untuk pemberitaan yang dianggap bermasalah.

UU Pers sendiri tidak mengatur secara tegas siapa yang harus menjadi penanggung jawab dalam perusahaan pers terhadap berita-berita yang dikeluarkan apakah itu Pemimpin Redaksi atau wartawan. Pasal 12 UU Pers berbunyi :

Perusahan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung

jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, khususnya

untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.



Berdasarkan isi pasal tersebut di atas dapat diartikan bahwa perusahaan pers hanya wajib mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab dalam perusahaan pers. Sehingga dapat terjadi bias dalam masalah pertanggungjawaban mengenai penerbitan berita dalam perusahaan pers.

Pasal 5 ayat (1) UU Pers menyebutkan :

Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asa praduga tak bersalah.



Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Pers tersebut di atas dapat diartikan bahwa seorang wartawan dikategorikan melakukan kesalahan apabila, melanggar norma agama,norma susila, dan asas praduga tak bersalah. Jika ada penyebarluasan berita bohong atau berita yang sangat tidak bertanggung jawab sehingga ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, maka penegak hukum harus mempergunakan pasal-pasal penghinaan (Pasal 310) KUHP, karena UU Pers belum mengatur masalah tersebut (delik pers). hukum pidana dan pers sering dipertentangkan, hukum memiliki fungsi mengatur dan pers mengedepankan kebebasan kemungkinan dari jeratan hukum.

Menurut Oemar Seno adji dalam bukunya “Perkembangan Delik Pers Di Indonesia” ada 2 (dua) system pertanggungjawaban pidana atau suatu tulisan, yaitu :

Dalam kehidupan hukum pers, dikenal 2 (dua) system berturut-turut, dimana dalam sistem hukum pidana pertanggungjawaban pidana didasarkan atas ajaran “Penyertaan” dan ajaran kesalahan “Schuldleer” dan dicari the actual and real wrongdo-er” (siapa sebenarnya yang melakukan kesalahan dan tidak dikenal pertanggungjawaban fiktif dan susesif). Hal tersebut diperlakukan terhadap redaksi yang mengenal 2(dua) persyaratan yaitu : mengetahui sewaktu tulisan yang bersangkutan dimasukkan dan sadar akan sifat pidana dari tulisan dan telah dikemukakan adanya kekecualian dari pertanggungjawaban atas ajaran “penyertaan” ialah pertanggungjaaban pidana dari penerbit dan pencetak, jikalau persyaratan yang disebut dalam Pasal 61 dan 62 KUHP (dengan kaitannya dengan pasal-pasal 483 dan 484 KUHP).[4]



Meskipun suatu pemberitaan (tulisan atau gambar) disebutkan dengan kata-kata “di luar tanggung jawab redaksi” bukanlah hal yang yuridis menentukan tentang terhadap pemidanaan apakah redaksi tersebut bertanggungjawab pidana atau tidak. Dengan mengingat kriteria di atas yaitu mengetahui sewaktu tulisan itu masuk dan sadar akan sifat pidana dari tulisan itu, maka ia akan dikeluarkan dari tanggung jawab pidana apabila tidak memenuhi kedua persyaratan sedangkan sebaliknya apabila kedua persyaratan atau salah satu tidak dipenuhi oleh redaksi, maka ia tidak dapat menghindari dari pertanggungjawaban pidana. Walaupun dinyatakan bahwa tulisan yang bersangkutan adalah di luar tanggung jawabnya.[5]

Pasal 61 KUHP menyatakan :

Ayat (1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan,penerbitnya selaku demikian tidak dapat dituntut apabila dalam barang cetakan disebut nama dan tempat tinggalnya sedangkan pembuatnya dikenal, atau setelah dimulai penuntutan pada waktu ditegur pertama kali lalu diberitahukan oleh penerbit.

Ayat (2) Aturan ini tidak berlaku jka pelaku pada saat barang cetakan terbit, tidak dapat dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia.



Pasal 62 KUHP Menyatakan :

Ayat (1) Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, pencetaknya selaku demikian tidak dituntut apabila barang cetakan tersebut dan tempat tinggalnya, sedangkan orang yang menyuruh mencetak dikenal, atau setelah dimulai penuntutan, pada waktu ditegur pertama kali diberitahukan oleh pencetak.

Ayat (2) Aturan ini tidak berlaku, jika orang yang menyuruh mencetak pada saat barang cetak terbit, tidak dapat dituntut atau sudah menetap di luar Indonesia.



Pasal 483 KUHP Menyatakan :

Barangsiapa menerbitkan suatu tulisan atau sesuatu gambar yang karena sifatnya merupakan delik, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda denda paling banyak Rp. 4.500 jika :

1. Si pelaku tidak diketahui namanya dan juga tidak diberitahukan namanya oleh penerbit pada peringatan pertama sesudah penuntutan berjalan terhadapnya;

2. Penerbit sudah mengetahui atau patut dapat menduga pada waktu tulisan atau gambar itu diterbitkan, si pelaku itu tidak dapat dituntut atau akan menetap di luar Indonesia.



Pasal 484 KUHP Menyatakan :

Barangsiapa mencetak tulisan atau gambar yang merupakan delik, diancam dengan pidana penjara paling lama datu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling ama datu tahun, atau pidana denda paling banyak Rp. 4500, jika :

1. Orang yang menyuruh mencetak barang tidak diketahui, dan setelah ditentukan penuntutan, pada teguran pertama kali tidak diberitahukan olehnya;

2. Pencetak mengtahui atau seharusnya menduga bahawa orang yang menyuruh mencetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar Indonesia.



“…..tanggung jawab pidana dari seorang penerbit dan pencetak menurut Pasal 61 dan 62 KUHP menyimpang dari ajaran penyertaan (deelneming) dan mereka dapat menghindari penuntutan, apabila beberapa persyaratan dipenuhi, seperti nama dan tempat tinggal penerbit (pencetak) disebut, penulisnya diketahui, dikenal atau diberitahukan, setelah dimuliai penuntutan, pelaku pada saat barang ctakan tersebut terbit, dapat dituntut ataupun meneatap di luar Indonesia. Dari pada itu, dalam hal persyaratan tersebut tidak dipenuhi (dalam Pasal 61 dan 62 KUHP), maka diadakan sanksi pidana dalam Pasal 483 dan 484 KUHP”.[6]



Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, memang sudah memposisikan pers nasional sebagai the fourth estate, pilar Ke-empat demokrasi menurut ketentuan di dalamnya yakni Pasal3, Pasal 4, dan Pasal 6. Tetapi Undang-undang Pers ini sendiri tidak memposisikan sebagai lex specialis terhadap pasal-pasal delik pers dalam KUH Pidana.





Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimanakah pertanggungjawaban pers terhadap pemberitaan yang merugikan nama baik orang lain ditinjau dari perspektif hukum pidana ?



Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Tujuan penulisan makalah

Untuk mengetahui pertanggungjawaban pers terhadap pemberitaan yang merugikan nama baik orang lain ditinjau dari perspektif hukum pidana.



Kegunaan penulisan makalah

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya yang menyangkut tanggung jawab pers dalam perspektif pidana.




D. Tinjauan Pustaka

Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Berdasarkan Kamus Besar Indonesia “Pertanggungjawaban” berarti perbuatan (hal dan sebagainya), bertanggung jawab : sesuatu yang dipertanggungjawabkan[7]. Dalam bahasa asing, pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “Criminal responsibility” atau “Criminal liability”, telah diutarakan bahwapertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah sesorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atau suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak[8].

Menurut E.Y Kanter dan S.R Sianturidalam bukunya “ Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” berpendapat :

Pertanggungjawaban merupakan salah satu syarat untuk menjatuhkan sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku perbuatan terlarang. Dengan kata lain , pertanggungjawaban pidana merupakan unsure subyektif untuk dapat memidana seseorang yang secara obyektif melakukan perbuatan pidana.[9]



Pengertian Pertanggungjawaban Pers

Pengertian Pers

Pengertian press (Inggris) atau pers (Belanda) berasal dari bahasa latin pressare yang berarti tekan atau cetak. Pers lalu diartikan sebagai media cetak (printing media)[10]. Istilah pers lazim dipakai masyarakat untuk surat kabar atau majalah. Pers menurut Weinner yang dikutip dari Masduki memiliki 3 (tiga) arti,yaitu :

Wartawan media cetak.

Publisitas atau peliputan.

Media cetak atau naik cetak.[11]

Pers dalanm kosa kata Indonesia berasal dari bahasa belanda yang mempunyai arti yang sama dengan bahasa Inggris : ”press”, sebagai sebutan untuk alat cetak.[12] Istilah pers telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu jenis media massa (media komunikasi massa). Banyak orang-orang menyebutnya dengan “mass media” (bahasa Inggris) yang mestinya disebut “media massa” (bahasa Indonesia). Biasa pula digunakan istilah media massa cetak, disingkat menjadi media cetak (printed media).[13]

Media massa adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication) dalam arti, media merupkan seluruh atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antara manusia.[14]

Keberadaan pers pada umumnya adalah sebagai media penghimpit atau penekan dalam masyarakat. Makna lebih tegasnya adalah dalam fungsinya sebagai kontrol sosial, disini yang juaga tidak jarang menjadi sebuah penekan terhadap kebijakan tertentu yang dinilai tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh pihak yang seharusnya secara lurus dapat menjalankannya.

Pengertian pers (press) sebagaimana disebut dalam Black’s Law Dictionary adalah sebagai berikut :

The aggregate of publications issuing fron the press, or the giving publicity to one’s sentimens and opinion through the medium of printing; as in the pharase “Liberty of the press” freedom of the press in guaronteed by the first amandement.

Menurut Oemar Seno Adji pers dibagi menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu :

1) Dalam arti sempit : mengandung pengertian penyiaran-penyiaran fikiran, gagasan ataupun berita-berita dengan jalan kata tertulis.

2) Dalam arti luas : memasukkan di dalamnya semua mediaa mass comuications yang memancarkan fikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kta tertulis maupun dengan kata-kata lisan.[15]



Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan :

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.



Persuahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atua menyalurkan informasi.



Di dalam pengertian luas seperti pers mencakup semua media komunikasi massa , seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain.[16] Sedangkan dalam pengertian sempit atau terbatas, pers adalah media cetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah dan buletin.

Pers yang dimaksud dalam makalah ini adalah pengertian sempit atau terbatas, yaitu media tercetaj di atas kertas atau media cetak. Dalam kaitan ini, fungsi utama dari pers pada umunya di samping sebagai informasi baik bagi semua warga masyarkat maupun dengan pemerintah secara timbal balik.



b. Subyek Hukum Dalam Delik Pers

Pelaku perbuatan pidana pada prinsipnya adalah orang (natural persoon), dalam perkembangan hukum diperluas yang disebut dengan korporasi. Korporasi trdiri dari beberapa orang, tetapi orang-orang tersebut tidak ditempatkan sebagai individu, melainkan dalam kesatuannya yang terorganisasi dalam wadah badan hukum. Korporasi sebagai subyek hukum hanya karena adanya hukum yang menetapkannya sebgai subyek hukum (Judical Person).

Adanya subyek hukum korporasi ini telah memerluas asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Pada mulanya hanya dikenal asas “ Siapa yang berbuat, maka ia yang bertanggungjawab” untuk subyek hukum orang, kemudian diperluas menjadi asas “Siapa yang bertanggungjawab, maka ia yang berbuat”.

Menurut Mudzakkir yang dikutip dari Rifqi Sjarief Assegaf dalam menetapkan siapa yang bertanggung jawab terhadap isi berita yang dimuat di media yang melanggar hukum adalah redaksi, karena redaksilah yang menurut organisasi pers sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap isi berita yang dimuat dalam media yang dipimpinnya.[17] Hal ini terlihat pada Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 :

Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, khususnya untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.



Atas dasar ketentuan tersebut, merupakan kewajiban hukum bagi media cetak memuat kolom nama, alamat dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan. Atas dasar ketentuan tersebut dan sesuai dengan kebiasaan dalam menjalankan profesi di bidang pers (masyarakat pers) bahwa yang bertanggung jawab adalah redaksi.

c. Pertanggungjawaban Pers Dalam Hukum Pidana

Fungsi pers tercantum dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999, yaitu :

Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi,pendidikan,hiburan dan kontrol sosial.

Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat sebagai lembaga ekonomi.

Berdasarkan fungsi pers tersebut, terlihat begitu berat dan luasnya tanggungjawab pers. Dalam kinerjanya sering muncul permasalahan terkait dengan posisi pers yang berhadapan dengan pemerintah. Apa yang dikemukakan oleh pers seringkali dinilai tidak sejalan dengan yang dikehendaki pemerintah.

Sementara interaksinya dengan masyarakat, pers tidak jarang menurunkan sajian yang dinilai tidak sesuai dengan fakta serta melanggar hak pribadi (privacy) seseorang yaitu dengan kesengajaan menuduh suatu hal pada seseorang atau institusi tanpa didasari bukti yang kuat, pemberitaan memutarbalikkan, mencampuradukakan fakta dan opini, menyimpulkan kasus seseorang yang belum ada keputusan hukum yang tetap dan tidak mendasar pada fakta atau alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga berakibat pencemaran nama baik bahkan fitnah.

Mengenai pertanggungjawban pers dalam hukum pidana didasarkan pada ajaran kesalahan (Schuldleer)dan asas “penyertaan” (deelneming). Asas penyertaan ini yang menjadi landasan untuk mempertanggungjawabkan pidana terhadap wartawan, redaksi ataupun penulisnya sendiri.

Deelneming dipermasalahkan dalam hukum pidana karena berdasarkan sering suatu delik dilakukan bersama oleh beberapa orang. Jika hanya satu orang yang melakukan suatu delik, pelakunya disebut allen dader.[18] Kata deelneming berasal dari kata deelnemen (Belanda) yang diterjemahkan dengan kata “menyertai” dan deelneming diartikan “penyertaan”.

Deelneming diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 berbunyi : Ayat (1) Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana :

Ke-1 mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta dalam perbuatan;

Ke-2 mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.



Ayat (2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.



Pasal 56 berbunyi :

Sebagai pembantu kejahatan dihukum :

1. Mereka yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan dilakukan

2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.



Berdasarkan rumusan Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP tersebut, terdapat 5 (lima) peranan pelaku, yaitu :

1). Orang yang melakukan (dader or doer); Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana. “Pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai atau dihargai sendiri-sendiri atas segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan, dimana masing-masing pihak berdiri sendiri dan masing-masing pihak memenuhi seluruh unsur”.[19]

2). Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger); dalam bentuk menyuruh-malakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain. “Pada prinsipnya, Orang yang mau disuruh melakukan tindak pidana adalah orang-orang tidak normal, yaitu anak-anak dan orang gila. Namun, menurut doktrin, orang yang berada dibawah ancaman atau kekerasan (ada dasar pengahapus pidana) juga masuk dalam golongan tidak normal. Yang bisa dipidana hanyalah orang yang menyuruh , karena yang mempunyai niat adalah orang yang menyuruh; walaupun yang memenuhi unsur adalah orang yang disuruh”. Jadi, walaupun ada dua pihak yang menyebabkan terjadinya delik,yang dimintai pertanggungjawaban adalah yang menyuruh.[20]

3). Orang yang turut melakukan (mededader); Menurut P.A.F. Laminating orang yang turut melakukan (mededader) adalah “seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakuka tindak pidana yang diinginkan”.[21] Pihak yang terlibat adalah satu pihak, yang dapat terdiri dari banyak orang, niat dimiliki semua oarang dalam pihak tersebut, yang memenuhi unsur, pendapat pertama menyatakan cukup salah satu orang saja yang memenuhi unsur lalu semuanya dianggap memenuhi unsur pula. Pendapat kedua menyatakan tindakan berbeda yang dilakukan orang-orang itu jika digabungkan menjadi memenuhi unsur. Pertanggungjawaban pidana dipegang oleh semuanya. Hal ini dikarenakan kerjasama yang dilakukan bersama-sama secara sadar dan kerjasama fisik.

4) Orang yang sengaja membujuk (uitlokker); Menurut H.A.K. Moch. Anwar, Penggerakan[22] adalah :

Setiap perbuatan menggerakan atau membujuk orang lain untuk melakukan sesuatu yang perbuatan yang dilarang atau diancam dengan hukuman;

Dalam membujuk itu haud digunakan cara-cara atau daya upaya sebagaimana dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Dengan demikian di dalam uitlokking setidaknya ada dua pihak, yaitu pihak yang membujuk dan phak yang terbujuk, dimana pihak yang membujuk melakukan penggerakan dengan cara-cara yang telah ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP untuk melakukan sesuatu perbuatan yang melawan hukum.

5) Orang yang membantu melakukan (medeplichtige); “Pada pembantuan pihak yang melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatanyang akan ia bantu. Niat dari pelaku pembantuan adalah memberikan bantuan untuk melakukan kejahatan kepada pelaku. Tanpa adanya pembantuan tersebut, kejahatan tetap akan terlakasana. Pertanggungjawaban pidana pembantu hanya sebatas pada kejahatan yang dibantunya saja”.[23]

Kaitan ajaran “penyertaan” dengan delik pers bisa dilihat dari proses pembuatan berita yang melibatkan berbagai pihak. Pada umumnya proses tersebut dimulai dari rapat redaksi pada pagi hari yang membahas isu apa yang actual hari itu. Pada rapat ini juga pemimpin redaksi memerintahkan redaktur pel;aksana mencari informasi tambahan darri informasi yang disiarkan pada hari sebelumnya. Sesudah rapat pagi selesai, maka redaktur pelaksana memerintahkan para wartawan menyebar untuk mencari nformasi. Pada sore hari diadakan lagi rapat redaksi yang membahas informasi apa saja yang sudah didapatkan. Pada rapat sore tersebut, redaksi telah menerima segala informasi yang akan diterbitkan keesokkan harinya.

Redaksi yang telah menerima segala informasi tersebut, redaksi menyerahkan ke redaktur untuk mengedit informasi. Kemudian informasi yang sudah diedit diserahkan ke redaktur bahasa. Keseluruhan informasi yang dikumpulkan diseleksi oleh pemimpin redaksi. Informasi yang telah diseleksi kmudian diserahkan kepada redaktur halaman untuk ditentukan penempatan halamannya sesuai format pada surat kabar tersebut. Delik pers terjadi setelah berita tersebut sudah dipublikasikan dan mulailah pertanggungjawaban atas sajian pers tersebut.

Dalam menetapkan ada atau tidaknya pertanggungjawaban pidana dari redaksi harus memenuhi dua (2) persyaratan berikut :

Bahwa ia (redaksi) mengetahui, waktu tulisan (gambar) yang bersangkutan masuk untuk dimuat dalam surat kabar(tabloid/majalah);

Bahwa ia (redaksi) sadar akan sifat pidana dari tulisan (gambar) tersebut. Untuk menentukan ada atau tidaknya nilai kesadaran pelaku dapat ditentukan dari tingakt integritas, edukasi ataupun kemampuan keahlian penilaian tehadap tulisan atau gambar yang disiatkan tersebut.[24]



Selain didasarkan pada ajaran penyertaan dan ajaran kesalahan, tanggung jawab piadana pers juga didasarkan pada sistem pertanggungjawaban khas dari pers, yaitu :

1) stair system (system bertangga)

Stair system biasa pula disebut fiksi pertanggungjawaban redaksi. Artinya pertanggungjawaban yang dipikul oleh Pemimpin Redaksi (Pemred) adalah fiktif karena yang melakukan perbuatan (delik pers) bukan dia melainka orang lain(wartawan), tetapi ia yang harus bertanggungjawba. System bertangga dapat menyebabkan wartwan kurang hati-hati dlam menjalankan tugas, karena apabila ia melakukan delik pers maka bukan dia yang wajib bertangungjawab.[25]

2) Waterfall system (system air terjun)

Dalam system air terjun Pemimpin Redaksi dapat mengalihkan tanggung jawab hukum kepada anggota redaksi yang lain dan seterusnya hingga kepada wartawan yang mungkin memang adalah pelaku delik pers (penulis yang sebenarnya). System air terjun dapat menyebabkan wartawan bawahan lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya agar tidak mudah terjebak dalam delik pers.[26]

3. Pengertian Pemberitaan

Dalam bahasa inggris disebut “news”, berasal dari bahasa latin yaitu “novum”, “nova” artinya baru. Sedangkan menurut kamus besar bahasa indonesia , kata “pemberitaan” berasal dari kata “berita” artinya 1) cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat, kabar. 2) laporan. 3) pemberitahuan, pengumuman. Namun apabila kata “berita” ditambahkan awalan “pe” dan akhiran “an” maka ia akan berubah menjadi kata “pemberitaan” yang mengandung arti 1) proses, perbuatan, cara. 2) perkabaran, maklumat.[27]

Berita dalam arti teknis jurnalistik adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa yang dipilih oleh staf redaksi suatu media untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa, entah karena pentingnya atau akibatnya, entah pula karena ia mencakup segi-segi humon interest seperti humor, emosi dan ketenangan.

Berita adalah “laporan tentang gagasan, kejadian atau konflik yang baru terjadi , yang menarik bagi konsumen berita dan menguntungkan bagi pembuat berita itu sendiri atau berita ialah laporan tentang ide, kejadian atau situasi yang menarik bagi konsumen berita dan memberi keuntungan kepada pemilik surat kabar, majalah, stasiun radio atau komunikasi massa lainnya atau berita ialah segala sesuatu yang pada waktu tertentu menarik hati sejumlah orang dan berita yang paling baik adalah yang paling menarik bagi paling banyak orang (pembaca atau pendengar)”[28]





4. Pemberitaan Yang Merugikan Nama baik

Dalam delik penghinaan yang dilindungi adalah “kehormatan atau nama baik orang”. Suatu kewajiban bagi setiap orang untuk menghormati orang lain dari sudut rasa hormatnya (kehormatan) dan nama baiknya (penilaian dari sudut intergritas moral) di mata orang lain, meskipun orang itu telah melakukan kejahatan yang berat sekalipun. Kehormatan seseorang menjadi persoalan hak asasi manusia sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 ke-1 Undang- Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Yang Berbunyi :

Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugerah- nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.



Nama baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang tindak tanduk (perilaku atau kepribadian) seseorang dari sudut moralnya, nama baik seseorang selalu dilihat dari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga ukurannya ditentukan berdasarkan penilaian secara umum berdasarkan dalam suatu masyarakat tertentu ditempat dimana perbuatan tersebut dilakukan dalam konteks perbuatannya.[29]

Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tapi kedua- duanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantaranya kehormatan atau nama baik sudah cukup menjadikan alasan untuk menuduh seseorang yang telah melakukan penghinaan.

“Hormat” dalam kamus besar bahasa indonesia artinya menghargai ( takzim, khidmat ), perbuatan yang menandakan rasa khidmat atau takzim ( seperti menyembah atau menunduk ). Sedangkan “kehormatan” artinya adalah 1). Pernyataan hormat, penghargaan ; 2). Yang dihormati, tempat kita menaruh hormat; 3). Kebesaran, kemuliaan ; 4). Nama baik, harga diri.[30]

Pengertian kehormatan ( khususnya nama baik ), ini ada beberapa pendapat yaitu:

De subjectieve opvatting;

De subjectieve opvatting, menyamakan perkataan “kehormatan” dengan “rasa kehormatan”. Pendapat ini tidak dipakai lagi mengingat beberapa alasan, antara lain:

Apabila pendapat ini dijadikan ukuran untuk mengkualifisir apakah kehormatan seseorang tersinggung atau tidak, maka dalam penerapanya akan sulit jika dihadapi ialah orang orang “rasa kehormatannya” tebal (overgevolig)atau orang yang kurang atau yang sama sekali tidak mempunyai rasa kehormatan.

Dengan menganut pandangan subyekti, maka hak untuk mengadakan kritik yang agak bebas menjadi berkurang.

Bahwa dengan menganut pandangan ini, sebetulnya kita telah melepaskan “de jurisdiche begrifsbepalingen” dan memasuki bidang “psychologhich”.

2) De objectieve opvatting; pendapat ini kita bisa melihat dari dua pandangan, yaitu :

pandangan yang membatasi diri pada pengakuan nilai nilai “zedelijk” dari manusia .

pandangan yang hendak memperluas, yaitu tidak membatasi diri pada pengakuan nilai nilai zedelijk dari manusia, tetapi memperluasnya dengan semua faktor yang dapat digunakan sebagai pegangan oleh manusia.

Pandangan objektif yang terbatas pada pengakuan daripada nilai nilai “zedelijk” dari manusia dikemukakan oleh simons berhubung dengan perkembangan ilmu hukum dan yurisperudensi, maka pada umunya yang sekarang diikuti adalah pandangan obyektif yang tidak membatasi diri pada pengakuan “zedelijk” daripada manusia, melainkan mengakui semua faktor dan semua nilai yang ada pada manusia.[31]



Setiap orang memiliki hak untuk diperlukan sebagai anggota masyarakat yang dihormati. Menyerang kehormatan berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang kehormatan seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut lingkungan masyarakat dimana perbuatan itu dilakukan.

R. Seosilo menerangkan yang di maksud dangan “menghina” yaitu “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Yang di serang itu merasa “malu”. “kehormatan”yang diserang ini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan kehormatan lapangan seksuil”.[32]

Menurut Mv. T, penyerangan kehormatan atau nama baik dapat berbentuk:

Menuduh melakukan suatu perbuatan yang tidak terhormat(outeerende feiten) yang tanpa mengunakan kata kata menyakitkan (krenkende woorden of uit drukking) disebut penghinaan materiil.

Penghinaan berupa kata- kata yang menyakitkan (krenkende woorden) atau perbuatan (feiteliyk heden) disebut penghinaan formil.[33]



Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa nama baik adalah kehormatan yang di berikan masyarakat kepada seseorang, yang biasa nya di hubungkan dengan kedudukannya di dalam masyarakat. Artinya kehormatan yang di berikan masyarakat kepada orang memiliki kedudukan tinggi sedangkan kehormatan adalah perasaan pribadi atas harga diri.

Perbuatan melawan hukum diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar hak kadah-kaedah tertulis yaitu perbutan yang bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku dan melanggar hak subyektif orang lain, tapi juga perbuatan yang melanggar kaedah yang tidak tertulis.

Suatu yang melawan hukum dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur adanya :

Perbuatan baik aktif maupun pasif

Melawan hukum

Menimbulkan kerugian pada orang lain.

Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

Dikatakan sebagai melawan hukum apabila perbuatan tersebut :

Melanggar hak subyektf orang lain, berarti melanggar wewenang khusus yang di berikan oleh hukum kepada seseorang . Yurisprudensi memberi hak subyektif sebagai berikut :

Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik.

Hak-hak atas harta kekayaan, hak kebendaan dan hak mutlak lainnya. [34]

Suatu pelanggaran terhadap hak subyektif orang lain merupakan perbuatan melawan hukum apabila perbutan itu secara langsung melanggar hak subyektif orang lain, dan menurut pandangan dewasa ini diisyaratkan adanya pelanggaran terhadap tingkah laku berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis yang tidak seharusnya tidak dilanggar oleh pelaku dan tidak ada alasan pembenar menurut hukum

Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku. Kewajiban hukum di artikan sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis( termasuk dalam arti ini dalah perbuatan pudidanpencuria, pengelapan, penipuan, dan pengerusakan).[35]

Bertentangan dengan kesusilaan, yaitu bertentangan dengan norma-norma moral.


BAB II

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN



Pertanggungjawaban Pers Terhadap Pemberitaan Yang Merugikan Nama

Baik Orang Lain Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana

Dari segi sumber hukum, hukum pidana indonesia memiliki beberapa sumber yang pada garis besarnya dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu sumber hukum pidana yang terdapat diluar kuhp. Termasuk kedalam kelompok yang kedua ini adalah peraturan perundang- undangan lain.










UU PIDANA


















UU lain di luar KUHP

















Memperhatikan skema diatas, kedudukan uu pers berada pada kelompok uu lain- non pidana, karena uu pers memang bukan undang-undang yang secara khusus dibuat mengatur suatu perbuatan pidana tertentu. UU Pers adalah undang-undang non pidana yang memiliki sanksi pidana atas pelanggarannya.

UU No . 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan suatu undang-undang yang mengatur mengenai kehidupan pers secara khusus, sehingga uu pers layak disebut sebagai undang-undang khusus. Namun bukan berarti secara otomatis dapat mengecualikan apa yang telah diatur oleh KUHP. Sebab apa yang diatur dalam UU Pers adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang diatur dalam KUHP.

Jika merujuk pada alinea terakhir dari penjelasan Pasal 12 UU No . 40 Tahun 1999 tentang Pers, dimana terdapat kalimat “sepanjang menyangkut pertanggung jawaban pidana menganut ketentuan perundang- undangan yang berlaku”. Maka dapat disimpulkan bahwa jika terdapat delik yang menuntut suatu pertanggung jawaban pidana terhadap pers, maka bukanlah UU pers yang digunakan, melainkan ketentuan perundang- undangan yang lain, dimana dalam hal ini salah satunya adalah KUHP.

Lebih lengkapnya, penjelasan Pasal 12 tersebut adalah:

Pengumuman secara terbuka dengan cara:

Media cetak memuat kolom nama, alamat, dan penanggung jawabnya penerbitan serta nama dan alamat percetakan;

Media elektronik menyiarkan nama, alamat dan penanggungjawabnya pada awal atau akhir setiap siaran karya jurnalistik;

Media lainnya menyesuaikan dengan bentuk, sifat dan karakter media yang bersangkutan.



Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan. yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.



Berdasarkan penjelasan pasal 12 di atas, menyatakan bahwa uu pers memang tidak mengatur mengenai ketentuan pidana bagi pihak pers yang melakukan tindak pidana pemberitaan bohong, pencemaran nama baik, fitnah serta penyerangan kehormatan seseorang. Pasal 18 UU Pers terutama pada Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) sama sekali tidak mengatur hal tersebut.

Sehingga dengan demikian, maka haruslah dicari ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana sekaligus aturan pemindanaan bagi seseorang yang melakukan tindak pidana pemberitaan bohong, pencemaran nama baik, fitnah serta penyerangan kehormatan seseorang. Hanya KUHP dan uu no.1 tahun 1946 yang mengatur mengenai hal tersebut, karena pasal XIV dan XV UU no. 1 Tahun 1946 serta Pasal 310 dan 311 KUHP yang mengatur mengenai tindak pidana serta aturan pemidanaan bagi seseorang yang melakukan tindak pidana pemberitaan bohong, pencemaran nama baik, fitnah serta penyerangan kehormatan seseorang . Ditambah lagi ketentuan peralihan, ketentuan penutup dan penjelasan dari uu pers tidak mencabut ketentuan KUHP dan UU No. 1 Tahun 1946.

UU No.1 Tahun 1945 dan Pasal 310 dan 311 KUHP merupakan delik-delik umum. Artinya Pasal XIV dan XV No. 1 Tahun 1946 dan pasal 310 311 KUHP dapat saja didakwakan kepada siapa saja, tidak hanya kepada mereka yang berprofesi sebagai jurnalis.

Hal lain yang belum diakomodir di dalam uu pers adalah mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai delik pers yaitu perbuatan mana saja yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh insan pers (kejahatan pers).

Delik pers adalah delik yang dilakukan dengan pernyataan pikiran atau perasaan yang diancam pidana atau pernyataan pikiran atau perasaan yang dijatuhi pidana yang untuk penyelesaiannya memerlukan publikasi dengan menggunakan pers.

Menurut H.B. Vos yang dikutip dari risqi sjarief assegaf, menyatakan delik pers adalah :

Delik yang menyatakan dengan pernyataan pikiran dan perasaan melalui pers yang isinya memang dilarang dan pelakunya diancam pidana, sedangkan perbuatan itu telah terjadi pada saat media cetak yang terkait selesai dicetak (een drukpersdelict is er allen dan, wanner er is eeln op zizh zelf in haar in houd reeds voltooid zijndoor de publicatie).[36]



W.p.j pompe menyebutkan 3 kriteria yang harus dipenuhi agar suatu tindak pidana disebut sebagai delik pers(tindak pidana pers), yaitu :

Dilakukan dengan barang cetakan ;

Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan;

Adanya publikasi yang merupakan suatu syarat menumbuhkan kejahatan.[37]

Dari unsur-unsur diatas, unsur nomor tiga-lah yaitu “publikasi yang secara khusus mengangkat delik mendapat sebutan delik pers. Berita sebagai sajian pers itu berproses melalui tahapan-tahapan tertentu. Dari tahapan ini pula dapat dilihat dan selanjutnya dipilih sehingga akan menentukan kadar pertanggungjawaban dan siapa yang seharusnya mempertanggungjawabkan ketika terjadi permasalahan akibat berita yang telah disajikan.

Tahapan perjalanan suatu berita dari reporter sampai dengan tersaji dalam bentuk informasi tercetak antara lain sebagai berikut :

Event atau peristiwa sampai reporter.

Reporter memeriksa apakah event itu benar-benar fact. Jika bukan fact dibuang dan jika fact naik ke tahap berikutnya.

Reporter menimbang apakah fact itu ada new value nya. Apabila tidak dibuang dan apabila ada new valuenya terus naik ketahap IV.

Reporter menilai apakah fact yan ada new valuenya itu fit to print. Apabila tidak, simpan di arsip, apabila fit to print terus ketahap V.

Tahap ini, fact yang bernews value dan fit to print itu disusun untuk dimuat di surat kabar atau disiarkan oleh radio dan televisi.

Pada tahap ini fact bernew value fit to print yang sudah tersusun dicetak.

Pada tahap ini surat kabar didistribusikan.

Pada tahap terakhir ini surat kabar sampai ke tangan pembaca maka acara teknis jurnalistik event sudah jadi news (berita).[38]



Dalam hal ini meminta pertanggungjawaban atas sajian pers yang berakibat merugikan orang lain adalah pertanggung jawaban ketika sudah sampai pada tahap 8 (delapan) atau event sudah menjadi news (berita). Pada tahap ini pertanggungjawaban sudah bersifat eksternal dalam arti membawa pengaruh secara luas pada masyarakat. Disinilah mulainya tanggung jawab hukum atas sajian pers.

Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hak yang berlaku secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu, maka lahirlah pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban merupakan salah satu syarat untuk dapat menjatuhkan sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana.dengan kata lain pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang dapat mengadakan pemidanaan bagi subjek hukum yang secara objektif telah melakukan tindak pidana. Perbuatan yang secara objektif telah melakukan tindak pidana. Perbuatan yang secara objektif tercela itu, secara subjektif dipertanggung jawabkan kepadanya oleh karena sebab dari peraturan itu adalah dari pembuat tersebut.

Mempertanggungjawabkan perbuatannya yang tercela itu kepada pembuatnya, maka akan disimpulkan apakah pembuatnya yang tercela karenanya ataukah perbuatan tidak tercela. Dalam hal yang pertama maka pembuatnya tentu akan dipidana.jelaslah bahwa dalam hal ini dipidana atau tidaknya pembuat tidak semata-mata bergantung kepada apakah ada tindak pidana atau tidak, melainkan apakah terdakwa tercela atau tidak karena telah melakukan tindak pidana.

Dalam hal pertanggungjawaban pidana atas sajian pers didasarkan pada ajaran “penyertaan” dan ajaran “kesalahan”. Hal tersebut diperlakukan terhadap redaksi yang mengenai 2 persyaratan yaitu mengetahui sewaktu tulisan yang bersangkutan dimasukkan dan sadar akan sifat pidana dari tulisan.

“Penyertaan” diatur pada pasal 55 dan KUHP 56, berdasarkan pasal tersebut terdapat 5 (lima) peranan pelaku, yakni :

Orang yang melakukan;

Orang yang menyuruh melakukan;

Orang yang turut melakukan ;

Orang yang sengaja membujuk;

Orang yang membantu melakukan;

Sebagai ilustrasi, ajaran “penyertaan” dihubungkan dengan pertanggungjawaban pers (surat kabar harian kalimantan post di banjarmasin) adalah sebagai berikut :

Tugas dan tanggung jawab reporter/ koresponden adalah melakukan peliputan atas berita dilapangan. Peliputan berita dilapangan dilakukan atas dasar proyeksi/rencana kerja yang disampaikan pada malam hari sebelum reporter menyelesaikan tugas untuk hari itu. Rencana kerja dimaksudkan bisa berbentuk hunting news atau menghadiri suatu acara peliputan yang ditugaskan. Pos-pos tertentu, secara bergiliran dalam rentang waktu tertentu ditempati oleh para reporter untuk pemerataan dan penyegaran. Dihubungkan dengan 8 (delapan ) tahapan perjalanan suatu berita diatas maka tugas reporter adalah sampai dengan tahap 4 (empat).

Tugas dan tanggung jawab redaktur dengan dibantu asisten redaktur adalah memberi tugas sekaligus mengarahkan angle peliputan kepada reporter/koresponden sehingga suatu berita bisa obyektif dan tuntas terliput. Tanggung jawab redaktur sebagai pihak diatas reporter/koresponden untuk menilai suatu berita layak muat atau tidak. Kinerja redaktur boleh disebut tidak terlepas dari reporter/koresponden. Redaktur juga merupakan bagian dengan kinerja tertentu, terdiri dari redaktur kota , redaktur daerah, redaktur ekonomi, redaktur hukum, redaktur opini, dan redaktur umum. Dihubungkan dengan 8 (delapan) tahapan perjalanan suatu berita diatas maka tugas redaktur adalah pada tahap 5 (lima)

Redaktur pelaksana dengan dibantu asisten redaktur pelaksana bertugas menyerasikan berita- berita yang telah disusun redaktur dengan politik keredaksian. Redaktur pelaksana mengkoordinir para redaktur melalui rapat budget yang dilaksanakan sore hari. Juga bertanggung jawab atas efek berita yang sudah fit to print. Atau dihubungkan dengan (delapan) tahapan perjalanan suatu berita diatas maka posisi redaktur pelaksana bertanggung jawab pada tahap 6 (enam).

Tugas pokok pemimpin umum/redaksi menggariskan kebijakan dasar dan menjalin kerjasama dengan pihak luar pers khususnya menyangkut kelangsungan hidup pers. Pemimpin umum/redaksi menerima laporan budget yang dilaksanakan pada sore hari serta melakukan percobaan tertentu jika dianggap perlu. Perubahan ini dilakukan bukan pada nilai berita tetapi pada efek berita.[39]

Berdasarkan ilustrasi diatas diketahui bahwa pada tataran redaksional, pengelola pers terdiri dari : reporter/koresponden, redaktur pelaksana, dan pemimpin umum/redaksi (pemred). Reporter /koresponden adalah orang yang mencari, mengolah dan menulis berita yang didapat dilapangan. Redaktur/editor yaitu memperbaiki kata dan kalimat supaya lebih logis, mudah dipahami dan tidak rancu. Redaktur pelaksana adalah orang yang menyerasikan berita-berita yang telah disusun redaktur dengan politik keredaksian. Pemimpin redaksi mempunyai tugas memeriksa tulisan-tulisan yang telah tertata dibagian desain dan mengoreksinya, bahkan membatalkan tulisan bila dianggap perlu.

Dikaitkan dengan ilustrasi diatas, apabila ada suatu pemberitaan yang merugikan kehormatan dan nama baik orang lain dapat diperiksa dimana letak kesalahan tersebut. Dengan demikian kepada yang bersangkutan/ yang melakukan kesalahan mudah untuk dimintai pertanggungjawaban. Apabila dihubungkan dengan pasal 55 dan 56 tentang “penyertaan” mempermudah pengkualifikasian peranan pelaku, apakah mereka yang melakukan sendiri suatu perbuatan pidana (doenpleger), mereka turut serta/bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana(mededader), mereka yang sengaja membujuk orang lain melakukan tindak pidana (uitlokker), atau mereka yang membantu melakukan tindak pidana (medeplichtige).

Dalam hal adanya pemberitaan melalui media bukan merupakan produk secara individu melainkan munculnya sebuah pemberitaan senantiasa dilatar belakangi dan disertai dengan akibat yang kompleks. Untuk mengetahui peranan pelaku, berikut contoh :

Ahmad taufik menulis kebakaran tentang pasar tanah abang tanggal 19 februari 2003 dalam rubrik nasional majalah tempo karena pasar tanah abang adalah pasar yang beromzet besar. Kemudian diadakan rapat perencanaan yang dihadiri oleh Bambang Harymurti (pemimpin redaksi), Ahmad Taufik, Raden Wahyu Muryadi bertempat dikantor majalah tempo jalan proklamasi no. 72 menteng Jakarta Pusat. Pada rapat itu ahmad taufik mengusulkan untuk menindak lanjuti berita tentang kebakaran tanah abang kemudian usul Ahmad Taufik disetujui oleh peserta rapat termasuk Bambang Harymurti.

Selanjutnya Ahmad Taufik ditugaskan oleh raden wahyu muryadi untuk mencari sumber berita yang akan diwawancarai. Ahmad taufik kemudian menugaskan reporter Bernarda Rurit untuk diwawancarai Tomy Winata dan Indra Darmawan untuk mewawancarai H.P Lumbun selaku walikota Jakarta dianggap kedua orang tersebut banyak mengetahui permasalahan pasar tanah abang . Dari hasil wawancara tersebut, kedua tokoh belum mengetahui tentang tomy winata mengajukan proposal untuk renovasi pasar Tanah Abang.

Bahwa naskah tulisan ahmad taufik tersebut diedit oleh t.iskandar ali, dengan melakukan perubahan dari judul “ada tomy di tanah abang” menjadi “ada Tomy di ‘tenabang’?” . Dalam paragraf kedua menambah kata “pemulung besar” pada nama tomy winata adalah seorang pengusaha. Kemudian hasil edit tersebut diserahkan keredaktur bahasa untuk diperiksa tata bahasanya selanjutnya dilakukan rapat dami untuk penerbitan berita tersebut.

Bambang Harymurti sebagai pemimpin redaksi mempunyai tugas dan tanggung jawab diseluruh bidang keredaksian dan mempunyai hak untuk menentukan diturunkan atau tidaknya suatu berita. Pada rapat dami tersebut bambang harymurti menyetujui tulisan ahmad taufik yang sudah di edit oleh t. Iskandar ali tanpa meneliti kebenaran naskah berita tersebut.[40]



Berdasarkan contoh di atas Ahmad Taufik dipandang sebagai orang yang melakukan perbuatan pidana (dader or doer) karena yang menulis semua naskah berita adalah ahmad taufik yang bahan- bahannya diperoleh dari hasil wawancara reporter bernarda rurit, reporter indra darmawan dan reporter cahyo junaedi.t. Iskandar ali dan bambang harymurti dipandang sebagai orang yang membantu (medeplichtige) karena T. Iskandar Ali hanya mengedit naskah berita tanpa merubah berita dan bambang harymurti hanya sebatas memberi persetujuan agar berita dimuat dan dicetak tanpa meneliti kebenaran naskah berita itu.

Contoh di atas, terlihat kejelasan pihak yang bertanggung jawab atas dasar batas- batas perbuatan yang dilakukan (siapa yang bertanggung jawab atas apa). Kejelasan ini relevan dengan prinsip bahwa hendaknya seseorang hanya memikul resiko akibat yang diperbuatnya dan tidak memikul resiko akibat kesalahan orang lain. Dalam artian dapat dimintai pertanggung jawaban kepada pelaku sebenarnya.

Pada kenyataannya penetapan pertanggungjawaban terhadap perbuatan pidana yang berhubungan dengan pers didasarkan pada sistem organisasi pers itu sendiri. Jika ada pemberitaan suatu media pers dan pemberitaan tersebut dinilai telah mencemarkan kehormatan dan nama baik orang lain, maka yang bertanggung jawab adalah siapa secara organisatoris bertanggungjawab dibidang pemberitaan tersebut. Meskipun orang tersebut tidak berbuat( misalnya, menulis atau memeriksa), tetapi secara organisasi orang tersebut harus bertanggung jawab di bidang pemberitaan itu, maka ia ditetapkan sebagai pembuat terhadap perbuatan pidana tersebut.[41]

Secara organisatoris yang bertanggung jawab terhadap isi berita yang

Dimuat di media yang melanggar hukum adalah redaksi (pemimpin redaksi)[42], karena redaksilah yang menurut organisasi pers sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap isi berita yang dimuat di dalam media yang dipimpinnya.

Pemimpin redaksi sebagai orang yang bertanggung jawab akibat pemberitaan yang merugikan kehormatan dan nama baik orang lain terlihat dalam pengambilan putusan oleh hakim dalam kasus pemberitaan majalah tempo edisi 3-9 maret 2003 yang bertajuk “ada Tomy di tenabang?”.

Bambang Harymurti sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Tempo dijatuhi vonis 1 tahun penjara. Kemudian pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pada tingakt kasasi, MA menyatakan bahwa Bambang Harymurti tidak terbukti secara sah atas dakwaan primair, Pasal 311 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat(1) KUHP dan Susidair, Pasal 310 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, dan membebaskan Bambang Harymurti dari segala dakwaan.

Berdasarkan putusan di atas, yang menjadi alasan pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab terhadap berita yang dimuat didalam media adalah karena pemimpin redaksi adalah orang yang bertanggung jawab diseluruh bidang keredaksian dan mempunyai hak untuk menentukan diturunkan atau tidaknya suatu berita.

Pemimpin redaksi sebagai orang yang bertanggung jawab dalam hal pemberitaan yang merugikan kehormatan dan nama baik orang lain, sesuai dengan sistem pertanggungjawaban pidana dianut uu pers yaitu pertanggungjawaban dengan sistem bertangga (Stair System) yang menyatakan bahwa pemimpin redaksi harus bertanggung jawab terhadap sajian didalam pers. Stair system biasa pula disebut fiktif pertanggungjawaban karena yang melakukan perbuatan (delik pers) bukan dia melainkan orang lain, tetapi dia harus bertanggung jawab.

Sebelum adanya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sistem pertanggungjawaban pidana atas sajian pers diatur dalam pasal 15 ayat (4) UU No.21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang bunyinya sebagai berikut :

Pemimpin umum bertanggung jawab atas keseluruhan penerbitan baik ke dalam maupun keluar;

Pertanggungjawaban pemimpin umum terhadap hukum dapat dipindahkan kepada pemimpin redaksi mengenai isi penerbitan dan kepada pemimpin perusahaan mengenai soal-soal perusahaan;

Pemimpin redaksi bertanggungjawab atas pelaksanaan redaksionil dan wajib melayani hak jawab dan koreksi.

Pemimpin redaksi dapat memindahkan pertanggungjawabannya terhadap hukum, mengenai suatu tulisan kepada anggota redaksi atau kepada penulisnya yang bersangkutan.

Dalam mempertanggungjawabkan terhadap hukum, pemimpin umum, pemimpin redaksi, anggota redaksi atau penulisnya mempunyai hak tolak.

Wartawan yang karena pekerjaanya mempunyai kewajiban menyimpan rahasia, dalam hal ini nama, jabatan, alamat, atau identitas lainnya dari orang yang menjadi sumber informasi, mempunyai hak tolak.

Ketentuan-ketentuan hak tolak akan diatur oleh pemerintah, setelah mendengar pertimbangan-pertimbangan dari dewan pers.

Ketentuan ini memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban yang bisa dialihkan kepada anggota redaksi yang lain. Dimana pemimpin redaksi dapat mengalihkan tanggung jawab hukum kepada anggota redaksi yang lain atau kepada penulisnya yang memang mungkin pelaku delik pers. Sistem pertanggungjawaban pidana ini disebut pertanggung jawaban pidana dengan sistem air terjun (Waterfall System).

Berbeda dengan pertanggungjawaban pidana sistem air terjun (Waterfall System), pertanggungjawaban pidana sistem bertangga (Stair System) pemimpin redaksi harus bertanggungjawab terhadap tulisan(gambar) yang menyerang kehormatan dan nama baik orang lain.meskipun pemimpin redaksi tidak memenuhi 2(dua) hal pokok dalam penetapan ada atau tidaknya pertanggungjawaban pidana dari pemimpin redaksi sebagaimana yang dikemukakan Oemar Seno Adji, yaitu :

Bahwa ia (redaksi) mengetahui, waktu tulisan (gambar) yang bersangkutan masuk untuk dimuat dalam surat kabar (tabloid/majalah);

Bahwa ia (redaksi) sadar akan sifat pidana dari tulisan (gambar) tersebut. Untuk menentukan ada atau tidaknya nilai kesadaran pelaku dapat ditentukan dari tingkat intergritas, edukasi ataupun kemampuan keahlian penilaian terhadap tulisan atau gambar yang disiarkan tersebut.[43]



Merujuk pada 2 (dua) hal pokok diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, jika pemimpin redaksi tidak mengetahui masuknya tulisan (gambar) dan tidak menyadari sifat pidana dari tulisan (gambar) tersebut berarti redaksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Mengetahui saja tidak cukup, redaksi dituntut untuk membaca tulisan (gambar), jika pemimpin redaksi tidak membacanya tidaklah mungkin mengetahui dan menyadari isi tulisan (gambar), maka yang dimintai pertanggungjawaban pidana adalah redaktur yang membaca saja yang kemudian ada kesadaran akan sifat pidana, sedangkan redaktur yang tidak membaca tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena tidak mungkin ada kesadaran terhadap sifat pidana dari tulisan (gambar)tersebut tanpa membacanya, jika secara kebetulan semua dewan redaksi tidak mengetahui dan tidak membaca tulisan (gambar) yang dimuat pada media yang diterbitkannya, maka yang dimintai pertanggungjawaban adalah wartawan yang menulis suatu berita atau pegawai yang menggambar suatu gambar.

Menurut penulis 2(dua) hal pokok diatas hanya bisa diterapkan apabila pertanggungjawaban pidana akibat pemberitaan yang memuat pencemaran nama baik orang lain didasarkan pada sistem air terjun (waterfall system), karena prinsip ini membebankan pertanggungjawaban kepada pelaku sebenarnya

Pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab mempunyai hak prerogratif untuk menerbitkan atau tidak menerbitkan tulisan . Oleh karena itu, apabila ada konsekuensi hukum dari berita yang diterbitkan, maka pemimpin redaksi adalah penanggungjawabnya. Pemimpin redaksi sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap isi berita yang memuat dalam media yang dipimpinnya, didasarkan pada ketentuan pasal 12 UU Pers yang menyatakan:

Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, khususnya untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

Atas dasar ketentuan tersebut, merupakan kewajiban media cetak memuat kolom nama, alamat dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan. Sesuai dengan kebiasaan dalam menjalankan profesi dibidang pers (masyarakat pers) bahwa yang bertanggungjawab adalah pemimpin redaksi artinya pemimpin redaksi adalah orang yang bertanggung jawab di seluruh didang keredaksian dan mempunyai hak untuk menentukan diturunkan atau tidaknya suatu berita.

Tanggung jawab pidana atas sajian pers sebagaimana yang diatur dalam pasal 55 dan kuhp yaitu didasarkan atas ajaran ‘’penyertaan’’ dan ajaran ‘’kesalahan’’ tidak diterapkan, karena baik itu pertanggungjawaban pidana dengan sistem bertangga (Stair System) dan pertanggungjawaban pidana dengan sistem air terjun (Waterfall System) sama-sama menetapkan satu orang yang bertanggung jawab jika terjadi delik pers. Tetapi pertanggungjawabannya dan delik persnya ada pada KUHP (misalnya Pasal 310 ayat (2) KUHP). Sebagai contoh, pada kasus delik pers majalah Tempo Vs Tomy Winata yang diputus pengadilan negeri jakarta pusat, dimana pengadilan hanya menghukum bambang harymurti (pemimpin redaksi majalah Tempo) meskipun Jaksa Penuntut Umum menggunakan pasal 55 dan 56 KUHP.

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa pemimpin redaksi adalah orang yang bertanggungjawab jika pemberitaan yang merugikan nama baik orang lain. Menurut pemimpin redaksi sebagai orang yang bertanggung jawab bisa juga dikaitkan dengan pengertian delik pers itu sendiri, dimana salah satu unsur yang mengangkat adanya delik pers adalah ‘’publikasi’’, sebelum adanya publikasi terlebih dahulu diadakan rapat redaksi untuk menseleksi informasi apa saja yang akan diberitakan. Penyeleksian itu dilakukan oleh pemimpin redaksi. Dengan kata lain suatu berita itu baru bisa dipublikasikan jika ada persetujuan pemimpin redaksi. Adanya persetujuan pemberitaan, berarti adanya kesengajaan Pemimpin Redaksi untuk mempublikasikan suatu berita. Jika pemimpin redaksi menganggap berita itu tidak perlu dipublikasikan, meskipun suatu berita ada muatan pencemaran nama baik, maka berita itu belum disebut dengan delik pers. Dengan demikian jika terjadi suatu pemberitaan yang merugikan nama baik orang lain maka yang bertanggung jawab adalah pemimpinredaksi. Hal ini dikecualikan jika penulisan adalah penulisan luar. Dalam hal penulisan adalah penulisan luar, maka yang bertanggung jawab adalah penulisan yang bersangkutan. Sebagai contoh, pada kasus delik pers Besihar Lubis, Kolumnis Koran Tempo dalam tulisannya ‘’Kisah Interogator Yang Dungu’’ didakwakan dengan Pasal 207 Dan 316 Jo 310 KUHP.










BAB III

PENUTUP



KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Pertanggungjawaban pers terhadap pemberitaan yang merugikan nama baik orang lain sesuai dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat diterapkan pertanggungjawaban pidana dengan sistem bertangga (Stair System) yaitu Pemimin Redaksi bertanggungjawab atas pemberitaan yang dibuat oleh bawahannya atau wartawan. Hal ini bisa dihubungkan dengan beberapa putusan hakim yang menyatakan Pemimpin Redaksi bertanggung jawab terhadap materi pemberitaan, karena yang menentukan diterbitkan atau tidaknya suatu berita adalah Pemimpin Redaksi sebelumnya sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut adalah pertanggungjawaban pidana dengan sistem air terjun (Waterfall System) yaitu tanggung jawab pemimpin redaksi dapat dialihkan kepada redaktur lain atau kepada penulis yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam Pasal 15 Undang-undang Nomr 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.



SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapatlah disarankan sebagai berikut :

Demi mewujudkan kehidupan media massa Indonesa yang lebih baik dan berkualitas , kiranya disarankan agar dewan pers meningkatakan fungs dan perannya dalam mengatur kehidupan wartwan dan pemberitaan media massa dengan tetap mengedepankan tanggung jawab dan profesionalisme.

Diperlukan adanya revisi terhadap Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan memasukkan delk pers terhadap undang-undang tersebut.

Perlunya ditingkatkan pengawasan publik terhadap kinerja Pers di Indonesia.

Kebebasan pers yang bertanggungjawab harus diterapkan.


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Black’s Law Dictionary With Pronounciotions, Sixth Edition,1990, USA, St Paul

Minn, USA Publishing, Co.

Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila Jilid 4, 984, Yayasan Ciptaloka Caraka

Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 13, 1990, Cipta Adi Pustaka, Jakarta.

H. Assegaf, Djafar, 1993, Jurnalistik Masa Kini, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Hasan, Djuhaedah, 1993, Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Dalam Laporan Akhir Komdium Bidang Perbuatan Melawan

Hukum, Badam Hukum Nasional RI, Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-2, 1996, dDepartemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta.

Kanter, E.Y., dan S.R Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan

Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.

Lamintang, P.A.F., 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,

Bandung

Loqman, Loebby, 1995, Percobaan Penyertaan dan Gabungan tindak Pidana,

Universitas Tarumanegara, Jakarta.

Masduki, 2004, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII Pres,Yogyaakarta.

Marpaung , Leden, 2005, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,

Jakarta.

Moch. Anwar, H.A.K., 1981, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama

KUHP, Alumni, Bandung.

Muis, A.,1999, Jurnaistik Hukum Komunikasi Massa (Menjangkau Era

Cybercommunication Milenium Ketiga), PT. Dharu Anuttama.

Seno Adji, Oemar, 1997, Mass Media Dan Hukum, Erlangga, Jakarta.

----------------------, 1991, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia (Profesi

Wartawan), Erlangga, Jakarta.

Sianturi, S.R., 1989, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,

Alumni Ahaem-Patehaem, Jakarta

Wahidin, Samsul, 2005, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Banjarmasin.


B. Jurnal

Sjarief Assegaf, Rifqi, 2004, Pers Diadili, jurnal Kajian Putusan Pengadilan, Leip3,

Edisi 3.

Peraturan Perundanga-undangan

BPHN, Rancangan KUHP 2004

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Undang-undang Dasar Tahun 1945

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang Nomor 40 Tantang Pers

Website

Kejahatan Pers Dalam Perspektif Hukum dalm http://anggara.org/2006/11/07.

www.antikorupsi.org

www.freedom-pres.co.id/htm.

Tjipta Lesmana, Kebebasan dan Tanggung Jawab Pers Harus Berimbang,

www.sinarharapan.co.id/berita.



Dalam era globalisasi saat ini perkembangan komunikasi dan informasi berjalan sangat cepat, efisien dan mudah agar segala kebutuhan dapat segera terpenuhi. Globalisasi informasi dalam segala bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berkembang dengan baik karena cepatnya jaringan informasi.




[1] Tjipta Lesmana, Kebebasan dan Tanggung Jawab Pers Harus Berimbang,

www.sinarharapan.co.id/berita


[2] Tipta Lesmana, Ibid.


[3] A.Muis, 1999, Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa ( Menjangkau Era Cybercommunication Milenium Ketiga), PT. Dharu Anuttama, Jakarta, Hal. 126-127.


[4] Oemar Seno Adji,1991, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia (Profesi Wartawan),

Erlangga, Jakarta, Hal. 33.


[5] Ibid.


[6] Ibid., Hal. 29-30.


[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-2, 1996 , Departemen Pendidikan dan kebudayaan,

Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1006.


[8] E. Y Kanter dan SR. Sianturi, 2002 , Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya,

Storia Grafika, Jakarta, Hal.36.


[9] Ibid.


[10] Masduki, 2004, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, UII Press, Yogyakarta, Hal 7


[11] Ibid.


[12] Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 13,1990, Cipta Adi Pustaka, Jakarta, Hal. 118.


[13] A.Muis, Op. Cit., Hal. 56.


[14] Ibid.


[15] Oemar Seno Adji, 1997, Mass Media Hukum, Erlangga, Jakarta, Hal. 13.


[16] www,fredom-press.co.id/htm.


[17] Rifqi Sjarief Assegaf, 2004, Pers Diadili, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, Leip3, Edisi 3,

Hal. 35.


[18] Leden Marpaung, 2005, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Sinar grafika, Jakarta, Hal. 77.


[19] H.A.K Moch. Anwar, 1981, Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku KUHP,

Alumni, Bandung, Hal. 39.


[20] S.R Sianturi, 1989, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni

Ahaem-Patehaem, Jakarta, Hal. 342.


[21] P.A.F Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, Hal.

588-589.


[22] H.A.K. Moch. Anwar, Op Cit., Hal. 32.


[23] Loeby Loqman, 1995, Percobaan Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Universitas

Tarumanegara, Jakarta, Hal. 80.


[24] Oemar Seno Adji, Op Cit., Hal. 26.


[25] Rifqi Sjarief Assegaf, Op Cit., Hal. 32.


[26] Ibid.


[27] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-2, Op Cit., Hal. 123-124.


[28] A.Muis, Op Cit., Hal. 26.


[29] Rifqi Sjarief Assegaf, Op Cit., Hal. 17.


[30] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-2, Op Cit., Hal. 357.


[31] Oemar Seno Adji, Op Cit., Hal. 41.


[32] R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, Hal. 225.


[33] www.antikorupsi.org


[34] Djuedah Hasan, 1997, Istilah dan Pengertian Perbuatan Melwan Hukum Dalam

Laporan Akhir Komdium Bidang Perbuatan Melawan Hukum,

Badan Pembinaan Hukum Nasional RI, Jakarta, Hal. 24.


[35] Ibid.


[36] Rifqi Sjarief Assegaf, Op Cit., Hal. 80.


[37] Kejahatan Pers Dalam Perspektif Hukum dalam http://anggara.org/2006/11/07.


[38] Samsul Wahidin, 2005, Hukum Pers, Pustaka Belajar, Banjarmasin, Hal. 133.


[39] Ibid., Hal. 136-137.


[40] www.antikorupsi.org, Loc.Cit.


[41] Rifqi Sjarief Assegaf, Op.Cit., Hal. 33.


[42] Ibid.


[43] Oemar Seno Adji, Op.Cit., Hal. 26.

My Life and Love

Entah datangnya kerinduan itu darimana, tapi memang kurasakan aku betul-betul rindu malam ini
Kembali aku hanyut.. kembali aku tenggelam..
wangi tubuhmu,wangi nafasmu masih bisa kurasakan sampai sekarang..
Suaramu yang khas.. huuff.. entahlah.. padahal kau telah dimiliki seseorang,dan itu takkan terganggu..
sampai saat ini belum ada yang mengalahkan rasa yang kurasakan seperti memiliki rasa terhadap dirimu,walaupun telah banyak banyak kujalani..
Aku ingin melepaskan semua ini...
Aku ingin merasakan perasaan itu lagi tanpa dirimu...